Thursday, June 29, 2006

Cinta Nan Tak Kunjung Padam

Ungkapan hati… !

“Sampai seluruh rambutku memutih, aku tidak akan meninggalkanmu. Tapi sampai ajal menjemput, aku tidak akan lelah mencari gadis untuk mendampingiku”









Singapore, 20 April 2005

haron Melia kekasihku.
Siang ini, aku tiba di Singapura, dan menginap di Orchad Hotel.
Negeri ini, masih sangat asing bagiku. Karena itu, saya bermaksud menginap di Hotel ini hanya selama empat malam, untuk mengobservasi kotanya, sambil mencari pemondokan yang sesuai dengan kondisi keuanganku selama dua bulan ini, sebelum nanti bertolak ke Los Angeles.
Empat malam ini, aku akan mencoba menikmati swasana ruangannya, serta menikmati kesendirian dan kesepian yang ada. Maksudku, dalam kesepian tersebut, akan kucoba merenungkan makna hidup atau akan ke mana kubawa hidup ini, setelah aku tidak lagi bersama-sama dengan engkau.

Sharon Melia sayang...

Keberangkatanku, sengaja tidak kuberitahu kepadamu, karena kupikir, hati ini tidak akan pernah mampu untuk menyatakan selamat tinggal padamu. Apalagi, kutahu bahwa mungkin saja kau tidak merelakan kepergianku, walaupun kau tidak mungkin juga untuk menahanku. Mengapa? Karena satu-satunya jalan atau cara untuk menahanku di Jakarta, hanya jika kau bersedia menjadi isteriku. Ternyata, segala upaya yang kulakukan agar kau berketetapan hati dan menerima keadaan yang sebenarnya kau tetap menolak, dengan alasan, bahwa kau telah menerima pinangan seorang laki-laki, yang kau sudah terlanjur sayang padanya, dan laki-laki tersebut pun sangat menciantai dirimu.
Aku sadar.
Sangat sadar.
Untuk bersaing dan berkompetisi dengan lelaki tersebut, adalah tidak mungkin bagiku. Apalagi sangat jelas kau sampaikan, bahwa “Cinta saja, tidak mungkin untuk membuat bahagia seorang wanita.” Kau sebut lagi, bahwa “Seorang wanita, butuh kehidupan materi, yang dapat menopang penampilan dan kehidupan yang prima.”
Sebenarnya, aku ingin berargumentasi, bahwa rumusanmu keliru. Tetapi berdebat masalah kebahagiaan denganmu, adalah hal yang tidak mungkin akan saya lakukan; karena rumusan kebahagiaan pada setiap orang adalah sangat berbeda. Sekali lagi sangat berbeda. Jika kebahagiaan yang ada di benakmu, sandarannya adalah materi, maka aku justru sebaliknya : Immateri. Maksudku, kebahagiaan yang kutawarkan padamu adalah sebuah cinta yang tulus, yang lahir dari seluruh sumsum atau dari seluruh sendi tubuh dan jiwaku.

Sharon Melia kekasihku.

Kau tahu, sepanjang perjalanan, di dalam pesawat Singapore Airlines yang kutumpangi, tidak ada yang dapat kukerjakann. Aku bengang-bengong saja. Minuman ringan dan sarapan pagi yang ditawarkan pramugari nan cantik itu pun tak membuatku berselera. Bahkan, KOMPAS yang kubeli di bandara Cengkareng pun tak masuk dalam perhatianku. Yang ada, pikiranku terus menerawang dan mencoba me-rewind, semua lika-liku yang pernah kita jalani, terutama saat terakhir perjalanan liburan kita, di tempat di mana semua orang memandang cemburu terhadap kita, tak terkecuali penjual jagung di bukit Tanah Lot, di Bali sana.
Kau ingat kah, ketika ibu tua di pantai Segara, memandang wajah kita silih- berganti, dan berucap jujur, bahwa kita adalah pasangan yang sangat serasi, khususnya wajah kita yang mirip dan sangat pantas menjadi suami-isteri. Ah…
Terbayang, perjalanan dari Tanah Lot, ketika kita asyik-masyuk mendendangkan lagu, lagu yang kita sebut menjadi lagu abadi kita :

“ …tak semua laki-laki bersalah padamu
contohnya aku mau mencintaimu
tapi mengapa, engkau masih ragu…”

Ingatkah kau ?

Sharon melia permataku.

Aku tahu, beberapa kejab lagi, kau akan lupa akan semua kisah-kasih kita, setelah kau dipersunting oleh laki-laki pemujamu, yang kau sebut, sangat mencintaimu, karena kepolosan dan rasa manja yang kau miliki. Sementara, aku demikian yakin bahwa selama hayat dikandung badan, aku tidak mungkin lagi, bisa melupakanmu, beserta semua ceritera antara kau dan aku. Mengapa ? Karena seperti kataku, aku sungguh-sungguh jatuh cinta kepadamu.
Kau mungkin pernah mendengar defenisi cinta…
· Pertama “I Love you because I love me”. Ah ini cinta monyet namanya, yang hanya sekejab.
· Kedua “I love you because I need You.” Cinta ini, hanya karena ada maunya. Yang begini nih, pastilah tidak langgeng.
· Ketiga “I love you because you are....” Saya mencintaimu, karena kau ada. Woo…
Nah, aku ingin tegaskan kepadamu, cintaku padamu, sungguh-sungguh “Karena kau ada.” Jadi, bukan karena kau cantik. Atau bukan pula karena kau cerdas yang bahkan selalu rangking pertama di kampus, atau karena segala keistimewaan lain yang kau miliki. Bukan. Sekali lagi “Because you are !” Titik.
Tetapi, apa pun yang terjadi, meski pun sebentar lagi aku akan sirna dari benakmu, perkenankan aku mengingatkan pikiranmu dengan puisi pertama yang kukirimkan padamu. Baca lagi lah sayang…

Dermaga Cinta

esaat cinta telah berlabuh
dan ketika helaan nafas terhenti, terlintas suatu angan-angan, dan khayalan agar segera terwujud…

Kuberteduh di bawah tatapan matamu,
keluh-kesah membagi kita dalam dua ciri...
aku berada di antara sengatan derita,
dan kutahu, kedamaian yang kudamba ’kan sirna dihempas lara…

Pedih, perih selalu menyalibku,
sepertinya tiada waktu bahagia untukku.
punahlah harapan bahagia bersamamu,
dan tinggallah serpihan hati nan luka tersayat....

di saat lain, kau ‘kan melangkah ringan
melenggang dengan bahasa cinta yang kau miliki
tanpa pernah sampaikan lirik puisi
apalagi lagu penyejuk hati...

Kupastikan hati ini akan t’rus mencari
meski kuyakini dermaga cinta
takkan pernah aku jumpai....

Oh Tuhan, jika kau pastikan dia milik yang lain,
berilah ‘milikmu’ yang dapat bahagiakan dirinya…
jangan biarkan rintihan bersemayam di dadanya
cukuplah derita lalu menjadi sekilas lintas perjalanan cintanya…

Oh, jangan biarkan hatinya menyanyikan rindu padaku,
Jangan pula ada penyesalan dari degupan jantungnya,
agar bila masih jumpa kelak,
bisa kutatap sinar bahagia dari matanya….





Sharon Melia gadisku,

Puisi pertamaku, ternyata terwujud. Kita pisah. Aku pikir, kepergiaanku ini adalah yang terbaik bagimu dan bagiku. Karena kusadari, “Lebih baik berpisah dalam kecintaan daripada berpisah dalam kebencian.”
Aku tahu. Tidaklah mungkin hati ini akan rela menatap kau bersanding dengan pria lain, meski kenyataannya dia adalah yang berhak untuk itu. Juga kupikir, jika aku pergi jauh, itulah cara yang terbaik agar bisa melupakanmu, dan melupakan semua kisah - kasih kita serta tidak perlu menghayalkan kebahagiaan yang akan kau reguk bersamanya

Sharon Melia.

Malam sudah merangkul dingin. Mataku lelah, karena acapkali air mata mengalir ke pipiku. Sedih. Dan rasanya, aku tidak sanggup lagi meneruskan surat ini. Selain, akan menyesakkan dada, juga khawatir, engkau akan menuduhku laki-laki cengeng yang tidak mengenal diri, karena berusaha mencintaimu. Namun, permintaanku, kalau surat ini sampai ke tanganmu, jangan biarkan dia menghuni kamar atau perpustakaanmu. Buang saja. Bakar bila perlu. Jika kau ingin membalasnya, segeralah, karena kepastian hari keberangkatanku ke Los Angeles belum jelas. Mungkin saja secepatnya, karena sangat tergantung pada Drs. Zulkifli, karyawan Biro Tenaga Kerja “MAJU MUNDUR” yang mengurus semua keperluanku, termasuk tempatku bekerja sesampai di LA.




Salamku untuk Ibumu

dari mantan karibmu,



H.A. Ximenes Aruan
Orchad Hotel, room 3319
road 1234 Singapore







D U A





No Love in your eyes
(Surat balasan Sharon Melia)




















Jakarta, 27 April 1995

imenes sahabatku.


Jadi suratmu sudah kuterima kemarin.
Aku terkejut. Sekaligus tidak percaya, kalau kau sudah tidak berada di Jakarta. Sungguh !
Lalu, aku mencoba meyakinkan diri, dengan menelpon salah seorang keluargamu, apakah benar atau tidak kau sudah tidak di Jakarta. Kulakukan ini, karena seperti kataku, aku sangat sulit menerka dan mengetahui, pada saat bagaimana kau serius dan saat mana kau bercanda. Itulah yang membingungkanku.
Sebenarnya, aku sudah teliti amplop dan perangkonya, bahwa surat itu, kau kirimkan dari Singapore. Tetapi, seperti kukatakan, kau bukanlah Ximenes, kalau tidak membuat permasalahan dan teka-teki. Dan membuat teka-teki, seolah-olah sudah menjadi santapan atau menu-mu sehari -hari.
Begitulah. Aku mengontak, melalui nomor telepon di mana biasanya aku menghubungimu jika handphonemu bisu. Tidak ada yang mengangkat. Terus, aku berupaya mencari salah seorang karibmu, Dicky. Dia juga bingung. Arnold lebih bingung lagi. Bahkan, mereka balik bertanya padaku, di mana dirimu. Mereka mengira aku bergurau. Akhirnya, kuputuskan untuk menghubungi, keluargamu.
Awalnya, mereka ragu untuk menjawab dan memberitahu. Tetapi, karena kudesak, akhirnya mereka mengiyakan, bahwa kau telah sungguh-sungguh pergi, mengikuti arah langkah kakimu. Tragis…!
Kukatakan saja itu tragis.
Tragis karena kau harus pergi, mengikuti langkahmu, tanpa pernah memberi kesempatan padaku untuk menahan langkahmu.
Kejam.
Kejam, karena ternyata kau sungguh-sungguh egois, tanpa pernah merasa bersalah, bahwa tindakanmu akan membuat beberapa hati; gundah, sedih, kecewa dan perasaan- perasaan lain, yang tidak menggembirakan. Padahal kalaulah kau sedikit menggunakan logika, atau rasio, pastilah kau mengurungkan niatmu untuk pergi.
Tetapi itulah kau. Itulah Ximenes.
yang centil
yang kejam
yang egois
yang sableng
yang bu..a...ya
yang tanpa perasaan
yang mau menang sendiri
yang, ah….
Tapi semua yang tidak disukai orang lain padamu, sebenarnya, a…a..aku, su…su, suka. Tetapi kini, biarkan aku dan hati ini membencimu, karena kau pergi tanpa lebih dahulu memberitahukannya padaku.

Ximenes Sahabatku.

Kusebut saja kau sahabatku kini. Karena kalau kusebut yang lain, toh tidak ada gunanya.
Benar.
Bahwa ilusi yang selama ini ada dibenakku terwujud menjadi suatu kenyataan. Kau pergi.
Baiklah. Sebelum kuungkapkan lebih dalam perasaan hatiku, ijinkan saya menulis lagu, yang barangkali bisa menjadi pelipurmu-pelipurku di suasana kesepian diri yang makin akrab denganku, setelah kutahu bahwa kau nyata-nyata sudah tidak di Jakarta lagi.

(Katakakan salahku
padamu...hingga dikau pergi.
Hanyalah kuingin dikau kembali,
sampai saat ini, kumasih menunggu...
mengapa...tiada maaf darimu,
ku tahu pasti hatimu padaku.
Misalkan kau memang bahagia,
ku pasti turut gembira, tetapi
bila kau setiap saat,
selalu rindu akan diriku,..
mengapa...tiada maaf darimu
mengapa ku bertanya)

Ximenes sayang.

Aku berani menyebutmu kini sayang. Karena itu kau butuhkan. Karena kalimat tersebut tidak pernah kuungkapkan selama kita bergaul di Jakarta.
Konyol.
Memang konyol. Konyol bangat lagi….Ternyata pendidikanmu yang cukup tinggi, tidak cukup tinggi untuk memahami sebuah realita. Karena ternyata, sebuah kalimat atau ungkapan lebih penting bagimu dibandingkan sebuah tindakan dan wujud perbuatan.
Bodoh.
Memang Bodoh.
Aku yakin, kau-lah laki-laki paling bodoh yang pernah kutemui. Mudah-mudahan, aku tidak akan pernah bertemu lagi dengan laki-laki seperti kau. Karena kau memaksa aku untuk menjawab, apakah aku mencintaimu atau tidak. Padahal, kau sudah menciumku, memelukku dan kita telah “Tidur satu kamar”. Dan dengan segala kemampuan yang kumiliki aku juga menciummu. Lalu, kau anggab apa itu ? Apakah aku hanya sebuah boneka? Apakah kau menganggabku wanita murahan, yang setiap saat melakukannya dengan laki-laki lain? Kalau itu yang ada dalam pikiranmu, ku-harap kau membuangnya jauh-jauh. Aku tetap wanita yang dibesarkan dengan kasih sayang, yang sadar betul, arti dan hakekat seorang wanita, bahwa apa yang kumiliki, hanya akan kuberikan dan kupersembahkan kepada laki-laki yang kucintai. Dan karena itulah, dengan segala perjuangan, aku rela kau cium, karena aku sudah mulai mencintaimu, kendati harus kuakui, ini, kali kedua aku dicium oleh laki-laki, setelah pria The first love-ku.
Dan sebenarnya, kalaulah kau sedikit berlogika, apakah seorang wanita mau diajak bepergian ke suatu kota, selama 5 hari 4 malam, kalau bukan dasarnya cinta? Ya. Tetapi kalau di-otakmu aku adalah wanita murahan, pastilah kau akan mengatakan, “ Ah, dia juga pasti melakukannya dengan yang lain!” Sorry. Sekali lagi sorry. Dan untuk hal ini, aku tidak perlu membela diri, atau mencoba memberi dalih yang macam-macam. Biarlah Sang Pencipta, menjadi saksi akan seluk -beluk kehidupan saya. Sekali lagi sorry.
Kalau pun saya ungkapkan hal ini sekarang, hanyalah agar kau sadar, bahwa sebenarnya kau adalah laki-laki cengeng. Terlalu cengeng. Bahkan, mungkin super-cengeng. Tak logikal. Juga tak rasional. Tambahan lagi, bahwa kau tak punya perasaan. Karena pada saat dan hati saya sudah mulai berbunga-cinta, di saat itu kau pergi. Aku sedih sekaligus menyesal, mengapa harus jumpa denganmu, mengapa aku harus menyukaimu, mengapa pula sempat tumbuh rasa cinta di hati ini. Bah. Dan biar kau puas, akan kutulis di sini sepuluh kali apa yang sangat kau harapkan ke luar dari bibirku, yang tidak sempat kau dengar …

I LOVE YOU
AKU MENCINTAIMU
O AI NI
HOLONG ROHAKKU TUHO
AMBO CINTA KAU
SAYA amour sama yu
cinta aku sama kau
alapiu
Aye kesemsem banget ame ente
Holanhodonahuparsintadiportibion.

Puas ?
Mudahan-mudahan kau puas. Sehingga menjadi jelas bagimu, bahwa aku mencintaimu. Namun, mau apa lagi, nampaknya nasi sudah menjadi bubur, karena kini, tidak ada lagi kesempatan bagiku untuk menahan langkahmu. Saya hanya berharap, agar saat ini kau dalam keadaan sehat, sehingga kau bisa mengurus segala apa yang kau butuhkan untuk melanjutkan perjalananmu ke LA. Dan sebelum kau ke LA, khabari aku, bagaimana keadaanmu di Singapore, dan rencana – rencanamu selanjutnya. Sedangkan saya, setelah kepergianmu ini, mungkin akan beralih profesi, atau akan kembali pada profesiku semula, guru. Walaupun konsekuensinya, penghasilan sebagai guru tidak akan cukup untuk menopang hidup di Jakarta. Tetapi, hal ini adalah sebagai bukti tetang tuduhanmu, bahwa aku lebih butuh materi, adalah keliru. Aku bisa hidup, meski hanya dengan makan nasi dan kecap saja. Karena aku tetap yakin pada ayat suci Alkitab “ Bahwa manusia tidak hidup dari roti dan ikan, tetapi oleh kasih karunia Tuhan semata “

Ximenes,

Kusudahi surat ini, dengan harapan, saya masih akan menerima suratmu dari Singapore sebelum kau ke LA. Doaku untukmu. Dan cintaku, mengiringi langkah kepergianmu. Tambahan lagi, jangan lupa merawat dirimu, memakan obat dengan teratur, khususnya minum air putih. Sebab, lengah sedikit, penyakit ginjalmu akan kambuh. Lalu kalau kau sakit, siapa yang akan merawat, sayang? Jadi jaga kesehatanmu baik-baik. Take care yourself honey. Dan, sebelum kuakhiri surat ini, perkenankan saya menulis ulang salah satu puisi yang pernah kau kirimkan padaku …


No Love in your eyes

Saat mata menelusur,
dan mencoba menangkap serta meneropong jauh ke lubuk hati dan mata hati,
kata hati sang kekasih tak ada cinta....

Kesadaran menjauhkanku,
‘tuk tidak lebih dalam mengungkap
perasaan yang terpendam lama…

Rasa sedih menggunung
dan meluluhlantahkan apa yang tersimpan dalam kalbu…

Tatap matanya yang tanpa makna
adalah kesedihan,
senyum hambarnya
menyayat hati, merobek jiwa
dan getir cinta menjadi lambang hidup...

Kini, ada tanya tanpa jawab,
mengapa mesti jumpa, dan hati terpaut
haruskah tubuhnya menyatu denganku, sementara
cintanya ada di antara yang lain?

Lalu harus ke mana kubawa hati dan cinta ini ?
Haruskah pikiranku bertualang terus,
sampai nafas tidak menyatu lagi dengan tubuh ?

O, Tuhan...
Dosakah bila di hati ini tumbuh cinta ?
Dosakah jika mencintai seorang gadis?
Bila dosa, apa yang harus kulakukan ?
Haruskah pikiran-pikiran tentang cinta ini kubuang jauh ?

O Tuhan,
Tataplah hamba-Mu ini...
Jika dia Engkau jadikan untukku
bimbinglah dia, menjadi gadis yang saleh, yang mengerti makna hidup bahagia,
Jagalah dia, sehingga kelak,
bila kumemilikinya dia menjadi ‘Sahabat’ yang baik dalam mengarungi hidup ini.***

Ximenes,
kau baca ulang puisimu, apakah cocok atau tidak dengan perasaanmu dengan
kenyataan yang ada.







Sharon Melia

Kelapa Gading,
Citi Building 2nd floor
0816 169 2949
East Jakarta





















T I G A









Jika hatimu Terluka
(Surat kedua dari HA Ximenes
Dari Singapore untuk Sharon Melia)















Singapore, 30 April 1995

haron Melia belahan hatiku.

Pertama-tama, ijinkan kanda berterima kasih atas balasan suratmu. Selanjutnya perkenankan saya mohon maaf, jika suratku yang pertama ada yang menyinggung atau melukai hatimu.
(Jika hatimu terluka, berarti saya telah membuat hal yang paling keliru dalam hidup ini…)
Tentu saja, apalagi artinya hidup, jika wanita yang paling kusayang harus kulukai pula hatinya?

Sharon Melia belahan jiwaku.

Baiklah kucoba bertutur, perihal keadaanku selama di Singapore. Sepanjang hari, aku mencoba mencari kesibukan dengan maksud agar aku dapat melupakan dirimu. Namun semakin dalam aku mencoba melupakanmu, semakin dalam rinduku padamu. Lalu pada saat yang demikian, aku ingin segera menerobos ruang dan waktu untuk kembali saja ke Jakarta, agar dapat melihat dan menjumpaimu, sehingga kita kembali akrab dan bercanda lagi seperti dulu. Hasratku semakin kuat, setelah kucoba merenung, dan menikmati beberapa kali isi suratmu, yang sungguh jelas tersirat, karena ternyata, bahwa cintaku tidaklah “Bertepuk sebelah”. Sebab, seperti katamu, kau juga mencintaiku. Tetapi, mau apalagi, toh nasi sudah menjadi bubur, dan semuanya terjadi hanya karena kebodohanku, pun karena aku tidak mampu menerobos isi hati dan pikiranmu, hal yang memang menjadi kekuranganku selama bergaul akrab denganmu.

Sharon Melia permataku.

Sebelum kulanjutkan isi suratku dan berceritera lebih jauh tentang keadaanku di Singapore ini, ijinkan kanda mengutip syair lagu, yang sering kita nyanyikan bersama di berbagai tempat hiburan yang ada di Jakarta. Siapa tahu, dengan lagu ini, wajah dan seluruh tubuh ini mampu hadir di pelupuk matamu, sehingga dengan demikian pula, swasanamu dalam membaca surat ini lebih sejuk, sesejuk swasana angin di bukit Kintamani atau hembusan angin di Danau Batur di Pulau Bali sana…

( katakanlah,
katakan sejujurnya
apa mungkin kita bersatu,
kalau tak mungkin lagi hujan
menyejukkan hati kita, untuk apa
kau dan aku bersatu...)

Lagu di atas, mungkin akan tetap menjadi bagian renunganku setiap hari, karena sebelum aku memutuskan berangkat dari Jakarta, bait lagu ini :

“... Kalau tak mungkin lagi hujan menyejukkan hati kita, untuk apa kau dan aku bersatu…”,

Ya, bait lagu ini, menjadi pertentangan bathin pun menghantui pikiranku. Kusebutkan demikian, karena kusadari, betapa “runcingnya” pemahaman kita tentang arti kebahagiaan. Di saat lain, kita pun harus bergulat dengan swasana; di mana kau sudah sangat terikat dengan laki-laki “tunanganmu,” sementara di sisi yang lain, saya sarat dengan berbagai problem. Tetapi sudah lah, toh semua sudah kau ungkapkan dalam suratmu. Dan teranyta saya keliru. Maafkan aku.
Kini, “Tali –cinta” kita mungkin sudah terputus. Jangan lagi mengharap burung terbang tinggi, punai di tangan dilepaskan. Bagi saya, berdoa agar kau dapat segera melupakan kisah-kasih kita, adalah yang paling penting. Sehingga, rencana dan keinginan laki-laki itu untuk meminangmu tidak lagi terhambat. Bila kalian menikah, kabarilah aku, kapan dan di mana. Siapa tahu, saya sempat mengirimimu kartu ucapan selamat atau bahkan bunga mawar yang harum mewangi. Dan, bila kalian sudah menjadi suami isteri, jadilah isteri yang baik. Bahagiakan suamimu dengan segenap dan setulus hatimu. Lupakan aku. Apa pun yang terjadi atas diriku, menemukan atau tidak penggantimu, bagi saya tidak lagi begitu berarti. Yang pasti, sudah kutetapkan hati dan pikiran, tidak akan dan tidak lagi mencari wanita lain, apalagi untuk jatuh cinta. Titik !



Sharon Melia...

Kemarin siang, aku mengitari sebuah Mall mirip dengan Mall Arta Gading yang ada di Kelapan Gading, Jakarta Utara sana. Ternyata, bukan hanya Jakarta yang dijejali dengan produk Amerika. Lidah orang Singapura pun demikian akrab dengan Friedchiken. Dan Kentucky Friedchicken, adalah yang paling laris di sini.
Aku pun mencobanya, dengan memesan sepotong paha dan dada. Kau tahu,khan ? Aku paling suka paha dan dada. Tambahannya, aku minta kentang goreng, dan segelas rootbier.
Aku coba mencicipinya.
Saat kentang gorengnya mendekati bibirku tiba-tiba pikiranku terasa kosong. Seperti ada yang hilang. Tiba-tiba saja seleraku hilang. Bah. Sumbernya tentu saja bukan karena kentangnya yang tidak enak. Karena yang terjadi, saat mencoba mencicipi, pikiranku telah berkelana ke tempat-tempat penjualan Kentucky Friedchicken yang ada di Jakarta; tempat di mana biasanya kita menikmatinya secara bersama-sama. Aku terbayang, saat di mana kau menyuapiku dengan kentang dan sesekali dengan ayam yang kau potek dari piringmu. Ah.
Pikiranku tersebut ternyatasangat menghambat seleraku. Dan akhirnya, mau apa lagi. Kecuali roorbier-nya, semua menjadi terbuang percuma, dan kutinggalkan saja di atas meja.
Aku bangkit dan berjalan lesu
Aku tertunduk.
Aku merintih.
Aku mengaduh.
Dan aku pun menangis.
Aku menangis sayang…
Kaki lunglai, nyaris tidak punya tenaga.
Akalku hilang.
Dan keceriaan yang menjadi ciri yang melekat dalam diriku sirna ditelan pikiran yang menerawang ke Jakarta.
Lalu kuputuskan untuk kembali saja ke tempatku menginap.
Sharon, aku tak lagi tinggal di Hotel. Tetapi di sebuah tempat penginapan yang mirip dengan tempat penampungan para pelaut yang ada di Pluit atau Sunda Kelapa, di Jakarta Utara sana.
Biayanya masih bisa kujangkau. Hanya 15 dolar Singapura. Tapi tidak termasuk makan. Dan kini saya sekamar berdua dengan seorang berkebangsaan Jepang, bernama NamuraNiotoan. Orangnya sangat ramah dan murah senyum. Bahasa Inggerisnya cukup baik. Dan dia sangat ingin menghiburku setalah dia tahu, semua alasan mengapa aku meninggalkan Indonesia. Dia iba, dan berjanji akan membantu sebisanya, agar aku bisa segera berangkat ke LA, kalau - kalau Drs.Zulkifli mengalami kesulitan untuk memberangkatkan aku ke LA. Dia, katakan pula, bahwa dia mempunyai adik perempuan di LA, yang sedang kuliah Ilmu Komunikasi di Universitas California Los Angeles (UCLA), jurusan Public Relations. Soal pekerjaan, dia yakinkan saya, bahwa di LA, tidaklah begitu sulit untuk hidup. Karena menurut pengakuannya, dia juga pernah tinggal di sana sebagai koki di restaurant AHANAMASA, yang khusus menyediakan menu Jepang, seperti shabu-shabu, tempura, tampanyaki, teriyaki, dan lain lain.


Sharon Melia kekasih hati.

Sesampai di penginapan aku langsung merebahkan diri ke ranjang.
Mataku memandang langit-langit.
Pikiranku kosong.
Kucoba untuk menjernihkan pikiran. Tak bisa.
Kucoba untuk mengalihkan perhatianku ke masalah - masalah lain. Juga gagal.
Tak terasa, dan tanpa komando, air mata telah mengalir di pipi. Sedih. Lalu, wajahmu datang silih berganti dengan wajah bunda almarhum Ibuku.
Tampak raut wajahnya dengan sorot mata yang sendu, seakan iba padaku, karena harus berpisah denganmu.
Kubayangkan, betapa sedihnya dia kalau masih hidup. Pikirannya tentu akan galau memikirkan betapa malangnya nasib cintaku. Padahal seperti yang kau tahu, aku adalah anak yang paling dikasihinya. Anak yang selama hidupnya senantiasa memberi kebahagiaan padanya. Anak si Oloi poda, yang penurut, yang telah berjuang demi keluarga, terutama untuk Ayah dan Bundanya. Tetapi kini, telah berada jauh; bahkan tanpa pamit, kepada ayahnya yang sudah tua, hanya karena gagal meYeyenk cinta.
Tanpa sadar, aku menangis dan berteriak, “Maafkan anakmu ini ibu. Karena aku harus meninggalkan ayah, yang padahal seharusnya merawat ayah dan memberikan kebahagiaan di masa tuanya ini…”

Sharon Melia,

Ternyata teriakanku tidak hanya sebatas dinding kamar. Tapi, menembus sampai ke sebelah.
Namuraniotoan, temanku sekamar yang sedang berada di ruang tamu, akhirnya membuka pintu dengan paksa dan serta memelukku.
“Ada apa,Ximenes ?” Tanyanya.
Aku diam.
Dia bergegas ke luar. Dan kemudian kembali, membawa segelas air putih. Aqua kalau tidak salah.
“Minumlah, kawan !” Suruhnya.
Aku minum. Tak seluruhnya habis. Sisanya, diusapkannya ke wajahku.
Aku pun tersadar.
Aku kemudian menceritakan semua keadaan mulai dari gagalnya aku makan Kentucky Friedchicken, sampai kejadian akhir yang membuatku menangis sambil berteriak.
“Sudahlah, Ximenes! Tegarkan hatimu. Hidup ini, semuanya sudah ada yang mengatur. Kau harus percaya itu. Soal Sharon Melia, kau harus rela diperisteri oleh si Fahmi. Perihal ayahmu segeralah menghubunginya via telepon, atau berkirim suratlah sebelum berangkat ke LA; sehingga ayahmu tidak terus-menerus memikirkanmu.” Ujar Namuraniotoan, dengan penuh cinta kasih.
Aku mengangguk. Mengiayakan saja apa yang dikatakannya padaku.
“Lapar ?”
Aku mengangguk juga.
“Aku traktir,iya ?”
“Jangan.” Tolakku.
“Ayolah. Aku baru dapat uang dari bapakku.” Bujuknya sambil menyodorkan Bank draft senilai US$ 100,000 (Seratus ribu dolar Amerika ).
Aku terperangah. Sungguh tak Tak menyangka kalau bapaknya bisa mengirim uang sebanyak itu, mengingat dia dan aku mondok di kamar yang murah dan sederhana. Ah. Untunglah aku cepat sadar. Logika dan rasioku mulai jalan. Kupikir hidup ini toh adalah sebuah misteri . Yah, Misteri. Termasuk aku, yang menyimpan misteri cinta.
Akhirnya aku setuju. Hari memang sudah sore dan gelap hampir bergayut di langit.
Kami berangkat naik taxi. Kami ngobrol ngalor - ngidul sebelum tiba di tujuan, restoran Chinese Food yang sangat Sim Yan Murahian.
“Makan apa, Nes?” (Iya sudah akrab dengan memanggilku dengan sebutan Nes.)
“ Up to you !” Pintaku.
“Don’t say like that.” Katanya.
“Yeah…You are leader, because you are treat me just now!”
“OK. But I really to make your happy now, so I give you chance to choose anything you like.”
Aku menyerah.
Aku memesan makanan kesukaanku, udang lobster, kakap, kepiting, dan kuminta, semua serba di panggang. Minumnya, fruitpunch.
Dia tersenyum.
Kubalas.
Akhirnya kami sama-sama tersenyum. Lalu kami tertawa, sampai ngakak.
“Boleh aku pesan tambahan.” Tanyanya
“Of course” jawabku menyilakan.
“Dua gelas red wine “ katanya
“Oke!” Jawabku.
Kami makan. Puas.
Kami minum. Juga puas.
Dia bayar. Bukan dengan uang. Tetapi kartu kredit American Express.
Aku bengong. Terkesima. Lalu bertanya dalam hati, siapa gerangan orang ini ?
Masa bodo pikirku. Hidup adalah misteri. Sudahlah.
Kami beranjak. Tak langsung pulang. Tapi ke diskotik, live show dan menikmati lagu-lagu; Bon Jovi,
Always,
Delilah
And so on.
Jrang jreng
Jrang jreng.
Letih. Capek. Keringat juga. Dan tak terasa, waktu menunjuk 3.00 pagi kami baru pulang.
Tiba di penginapan langsung lompat tempat tidur.
Tidur.
Pulas.
Mimpi.
Tapi setelah bangun, tak ingat apa pun kecuali di saat bangun, matahari sedang akrab dengan panasnya yang menyengat.

Sharon Melia

Seperti perkiraanku, ternyata Drs. Zulkifli tidak berhasil mencari sponsorku untuk bisa tinggal di LA. Semua yang dijanjikan bohong belaka. Aku ingin marah dan memakinya. Tapi tak sampai hati melihat wajahnya yang kalem bak tanpa dosa. Apalagi dia berjanji akan segera mengembalikan uang jasa yang sudah kusetorkan padanya.
Namuraniotoan akhirnya tau.
Dan tanpa ragu dia menawarkan untuk memberangkatku ke LA sesegera mungkin, artinya secepat aku mau. Tambahan lagi, aku dimintanya tenang-tenang saja, termasuk dalam hal pekerjaan di LA. Dia katakan, akan menghubungi adiknya yang di LA, HosukawaNaulibasa untuk mengurus semua keperluanku. Luar biasa. Hanya dia pesan, jagar tidak mengganggu adiknya, karena sudah punya tunangan di Kyoto, Doraemon-dipabego. Itupun disampaikannya secara bercanda. Dan wajahnya penuh dengan persahabatan.

Sharon Melia.

Aku menyerah, dan menerima semua tawarannya. Sesuatu yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Sebab, selama hidupku, baru inilah aku dibantu utuh oleh orang yang tidak kukenal. Jujur saja, bahwa selama ini, akulah yang banyak menolong orang. Tanpa pamrih tentunya.
Jadi, saya sudah pasti berangkat ke LA awal Juni ini, antara tanggal 1 dan 10. Sebelum bertolak ke sana, aku masih berharap, dapat menerima suratmu di Singapura ini. Siapa tahu, aku dapat kabar baik darimu, perihal tanggal pernikahanmu, yang kalau tidak salah, tanggal 4 Oktober ini. Kalau itu benar terjadi, berarti sebelum berangkat ke LA aku masih sempat mengirimkan kado pernikahanmu.
Cepatlah menyuratiku, agar aku memiliki waktu untuk memilih kado yang tepat untukmu. Yang pasti, kado tersebut, adalah yang pertama akan kupersembahkan kepada seorang wanita yang sangat kucintai, meski gagal kumiliki dan menjadikannya sebagai isteri.

Sharon Melia.

Sesuai anjuran NamuraNiotoan, aku sudah mengirim surat ke ayahku Tadi malam aku telepon juga ke Jakarta. Aku bicara dengan ayah.
Dia memang sedih.
Dia coba tanya, siapa gadis yang membuatku hengkang dari Jakarta. Tapi, aku tak memberitahunya. Nanti, akan kuceriterakan apa isi pembicaraan kami. Dari LA saja, sehingga tidak membuat suasana menjadi berantakan. Oke ?

Aku menunggu suratmu.




HA XIMENES.

Alamatku lihat diamplop.















E M P A T





Antarkan Kado Untukku
(Surat yang kedua Sharon Melia
kepada Ximenes)


















Jakarta, 10 Mei 1995

imenesku.

Biarkan hati dan pikiranku sejenak memilikimu.
Dengan keadaan seperti itu, aku akan lebih mudah bercanda dan berceritra padamu, tentang keadaanku kini dan rencana-rencanaku di masa yang datang.
Karena secara jujur, harus kuakui juga seperti pengakuanku terdahulu, ketika kita masih bergaul akrab di Jakarta, bahwa dekat denganmu adalah suatu kebahagiaan. Denganmu, aku tidak pernah merasa lapar, tidak pernah merasa sedih, dan tidak pernah merasa kekurangan apa pun.

engkau adalah lilin yang selalu menerangi kehidupanku…
dirimu adalah perekat yang membuatkau lengket kepada kehidupan nyata, lepas dari khayal dan angan-angat…
kau laksana selimut yang selalu menghangatkanku di setiap waktu…
engkau bagaikan air yang selalu menyejukkan pikiranku dan yang senantiasa menyegarkan akalku di setiap langkah kehidupanku…

Jadi, dengan mencoba memilikimu meski hanya dalam pikiran dan sekejab pula adalah kebahagiaan tersendiri, dan seakan dapat mengaktualisasikan semua ceritera perjalanan kita.
Nah, kini aku ingin bercanda, berceritera yang banyaaaaaak. Siapa tahu, ini surat yang terakhir yang bisa kukirimkan ke Singapura, atau mungkin juga yang terakhir padamu. Tetapi, aku berjanji padamu, itu jika kau mau, atau kalau kau setuju, aku akan setia menyuratimu selamanya, forever, ntah di mana pun kau berada, di LA, Mexico bahkan di Paradise sekalipun meskipun biaya perangkonya akan menghabiskan seluruh penghasilanku setiap bulan.

Ximenesku.

Tadi pagi, seperti biasa, aku tiba di kantor pukul 9.30.
Baru saja kepalaku nongol di pintu, beberapa mata menatapku.
Aku salah tingkah. Apalagi mata yang menyorotku, adalah rekan-rekan kerja pria yang beberapa di antaranya naksir padaku; Richard, Dedik, Lukminto, Antonio dan juga Sony. Mata mereka menyorotku dengan tajam, menghujam langsung ke ulu hati, laksana menghukum, dan ah, aku tidak bisa, dan sangat sulit menggambarkannya.
Yang paling membuatku tanda tanya, adalah sorot mata bosku, Virgo. Aku sungguh tidak mengerti.
Aku mencoba meneteralisir perasaanku. Namun belum lagi selesai, Virgo memanggilku. Tapi kali ini, dia senyum. Yah, senyum, sebuah senyum yang sarat dengan makna. Bah, apa pula ini, pikirku !
“ Melia, lima menit yang lalu, ada telepon dari adiknya Ximenes. “
“ O,iya.” Potongku sebelum ia teruskan pembicaraannya, “ Ada, hubungan apa denganku ?” tanyaku sedikit heran, atau memang saya saat itu berpura-pura heran saja. Aku tak tahu.
“ Tentu. Itulah yang ingin kusampaikan padamu.”
“Maksud Ibu ?”
Bu Virgo diam sejenak. Lalu berdiri, sambil mempermainkan mata kalung mutiara yang dikenakan dengan kedua tangannya. Nampaknya, ia mencari kata atau kalimat yang tepat, untuk disampaikannya padaku.
“ Yeyen, adik Ximenes sangat ingin bertemu kau. Mereka sangat mencintai dan mengasihi abangnya, Ximenes, lebih daripada diri mereka. Keberangkatan Ximenes, sangat membuat mereka terpukul. Dan juga sangat khawatir akan kesehatan Ximenes…”
“Apa hubungannya dengan aku, Bu?”
“Saya tidak tahu terlalu jauh. Tetapi, menurut adiknya, barangkali saja, kau bisa membatalkan niat Ximenes untuk berangkat ke LA. Konon, ayahnya tidak bisa tidur, dan terus menerus berpikir tentang Ximenes.”
“Tapi apa hubungannya dengan aku?” Aku mencoba mengelak.
“Okelah. Saya tidak ingin ikut campur terlalu jauh. Saya hanya menyampaikan pesan adiknya. Kalau kau setuju untuk bertemu Yeyen di HPnya 081 dia di (021)7521050. Dia menunggu.”
Aku diam.
Bu Virgo juga diam.
Kami membisu.
Kami betul-betul diam.
Kemudian dengan sentuhan tangan keibuannya, dia menepuk bahuku, “Kangen dengan Ximenes ?”
Aku senyum.
Bu Virgo juga senyum.
“Pasti kau kangen. Dan obat kangenmu segera kukasih,” katanya, sambil beranjak ke meja kerjanya.
“ Surat dari Ximenes,” sebutnya, sambil menyodorkan amplop berwarna biru. Agak tebal.
Aku terima. Tapi aku tak segera membukanya.
Aku bangkit. Dan permisi kepada Virgo. Dia mengangguk.
Aku bergegas menuju tangga ke lantai dua. Pikiranku sudah tidak konsentrasi lagi. Hanya satu, segera tiba di atas, membuka amplop lalu membaca isinya.
Kaki tersandung di anak tangga ke lima. Tegelincir. Plaaak tasku jatuh. Kakiku keseleo, tak bisa lagi berdiri.
Aku merintih. Mengaduh. Semua bawaanku berantakan, kecuali suratmu.
Bu Virgo mendengar rintihanku, juga Richard, Dedik, Lukminto, Antonio, juga Tumbur. Mereka lalu sibuk. Bu Karmini yang baru tiba, menjadi ikut-ikutan panik. Mereka lalu membopongku ke lantai dua. Bu Virgo mengurut kaki kananku yang kelihatan mulai membiru. Aduuh.
Aku lemas.
Menyesal, mengapa tidak hati-hati.
“Tolong tinggalkan kalian aku.” Pintaku kepada mereka.
“ Sudah tidak sakit ?” Tanya Dedik mencoba berjasa.
“ Masih. Tapi membaca surat ini jauh lebih penting dibanding kaki ini.” Jawabku ketus.
Mereka pergi.
Aku lega.
Dengan gemetar, kubuka amplop suratmu.
Kubaca.
Kuresapi.
Kurenungkan.
Kuulang sampai dua kali. Lalu aku lemas.
Aku diam dan diam.
Menit berlalu.
Jam berlalu.
Sejam, duajam, tigajam, empatjam, lima jam. Jadi lima jam aku diam. Tak minum, juga tak makan. Karena tak merasa haus. Juga tak merasa lapar. Kubayangkan wajahmu, juga keadaan sekitar ceriteramu. Benarkah? Kalau benar, betapa tersiksanya kau. Ah. Tapi aku mau bilang apa ? Salahkah aku?

Ximenes.

Calon mertuaku memang sudah datang dari Tarutung. Semua keluarga calon suamiku, sangat gembira, kalau aku menjadi isteri Fahmi. Dan nampaknya, seperti tidak ada lagi hambatan, bahwa pernikahan kami akan dilangsungkan JUNI atau JULI ini. Calon suamiku telah mempersiapkan segalanya; rumah dengan segala perangkatnya, mobil serta gedung tempat pesta pernikannya pun, sudah mereka bicarakan, termasuk hiburannya. Saya maklum, kecuali calon suamiku yang menejer bank, keluarganya termasuk orang-orang mampu. Tapi, ntahlah, aku tak tertarik. Sungguh. Padahal dengan keadaanku kini, yang dengan penghasilan pas-pasan, harusnya aku tergiur. Tetapi, sejak kita bergaul, dengan berbagai falsafah hidup yang kau tuturkan padaku, apalagi setelah kau pergi, makin kuyakini, bahwa “Kebahagiaan tidak identik dengan materi.”
Buktinya, akhir - akhir ini, calon suami ku (casuku) semakin kerab datang. Setiap kali datang, khususnya pada hari Sabtu, dia selalu mengajakku shopping. Tapi, terus terang saja, apa pun yang ditawarkan kepadaku, aku tak pernah tergiur.
Juga dengan makanan-makanan yang dibawa; coklat, dan tetek bengek lainnya, tak pernah lagi terasa dilidahku. Kalau pun kumakan hanya sekedar basa-basi, agar dia tak tersinggung.
Begitulah.
Akhir - akhir ini, aku lebih suka menghayal, lalu merumuskan teori-teori kebahagian yang kau rumuskan. Dan yang paling suka kuhayalkan adalah banyolan-banyolanmu. Kadang aku tertawa sendiri. Ngakak sendiri. Kayak orang gila jadinya. Yah, mirip orang gila. Bayangkan hal tersebut, pernah kulakukan di kantor, sampai-sampai officeboy heran. Heran, karena dulu-dulu, aku tidak demikian.

Ximenes sahabatku.

Dalam suratku engakau tanya, kapan tanggal pernikanhanku. Perlukah itu bagimu? Bukankah seperti katamu, itu akan sangat menyiksamu? Lalu kalau kusetujui permintaan tunanganku, apakah kau akan gembira ?
Okelah. Keluarga laki-laki, sudah meminta kesediaanku bulan Juni ini. Dan aku belum menjawab.
Aku akan menjawab, jika kau setuju.
Aku akan mengangguk, jika syarat yang kuajukan kau setujui, yakni kau harus hadir pada pesta pernikahan tersebut.
Bagaimana ?
Jadilah pria sejati. Jangan jadi pengecut. Buktikan bahwa kau rela, aku ini menjadi isteri orang lain, dengan menghadiri pesta pernikahanku dan mengantar sendiri kadonya.
Kalau kau tidak menghadirinya, kupastikan, apa pun kata pihak keluarganya aku akan menolak. Aku memilih untuk tidak menikah apa pun resikonya, seberapa berat pun bebannya. Ini sungguh-sungguh. Bukan main-main.

Ximenes.

Seperti katamu, kau tidak ingin menyakitiku. Buktikan itu. Jadi, aku menikah atau tidak dengannya bulan Juni ini, tergantung kau. Ini mutlak. Namun apa pun jawabanmu, atau barangkali saja kau tidak menjawab, terserah kau. Tapi, saya yakin, kau pasti menjawab.

Ximenes.

Foto kenangan kita di Tanah Lot, sudah ku gunting. Fotomu, kukirimkan bersama surat ini. Fotoku kusimpan. Seperti katamu, hidup ini penuh misteri. Siapa tahu, foto tersebut nanti bisa menyatu kembali.
Aku menunggu suratmu. Masih sempat, sebelum kau berangkat ke LA.




Salam manis.

Sharon Melia









E M P A T




Jauh dari Tatapan
Jauh dari Pikiran

(Surat ketiga dari HA Ximenes,
Untuk
Sharon Melia dari Singapore)













Singapore, 22 Mei 1995

Permataku, Sharon Melia.

Malam mulai merangkak sepi.
Sekeliling hening.
Dan kalau manusia - manusia lain sudah mulai asyik terlena serta mendengkur, pikiranku justru kacau-balau. Galau tak menentu. Dalam swasana seperti ini, mungkinkah badan bisa diajak tidur ?
Aku kalut.
Perasaan resah dan gelisah menghinggapiku malam ini.
Malam ini, tidak ada kawan yang dapat kuajak diskusi, atau yang sudi mendengar curahan hati. Semua sudah lelap. Juga sahabatku NamuraNiotoan.
Kupandangi wajahnya. Teduh, nyaris tanpa dosa. Seperti wajah bayi.Rawut wajahnya menunjukkan kedamaian yang dalam. Aku menjadi iri. Kalau saja aku bisa seperti dia, pastilah hidup ini indah. Begitu pikirku.

Sharon Melia belahan jiwaku.

Baiklah aku menuliskan sebuah puisi untukmu sebelum ku-urai dan kubentangkan jawabanku padamu sayang…


SETANGKAI HARAPAN DI MATAMU

Ketika cinta berlabuh di dermaga,
dan bila sejuta kerinduan bersatu dalam asa,
kugenggam setangkai harapan di matamu, terang, penuh kemilau…

Namun, kelabu di langit sana,
menjadi perintang,
untuk tetapkan hati menggapaimu
Meski di matamu kutemukan ciri bahagia diri, namun menjadi sirna dihempas lara-duka…

Hati kecil teriak berlari
aku ingin ada di sampingmu
alam pun turut berseru
Hah, betapa cinta mengalahkan
Segala, segala yang ada…
Sharon Melia.

Mengetahui keadaanmu sekarang, adalah siksaan bathin yang dasyat.
Tapi, apakah kakimu sudah sembuh.
Masih perih ?
Kubayangkan malam ini rintihanmu, saat kau menahan nyeri, saat kakimu terkilir.
Juga ketika Virgo atau saat Antonio mengurut kakimu. Aku pikir, kalau saja saat itu aku ada di dekatmu, tak akan kubiarkan orang lain menjamahmu. Sebab, kau tahu, kecuali memiliki cinta, aku juga dibekali sang Penciptai kemampuan lain untuk mengalirkan perasaan cintaku, mengurut, mengelus, membelai dan kemampuan- kemampuan lain, yang menjadi timbul dan tumbuh mana kala aku dekat denganmu.

Ingatkah kau, ketika liburan kita yang sarat dengan canda-ria?
Ingatkah kau, ketika kau menggigil kedinginan sehabis berenang dan sesaat menjadi hangat manakala kedua tangan telah mendekapmu ?
Ingatkah kau, ketika jari-jemariku mulai bermain di punggungmu, mengoleskan ramuan yang kemudian, membuatmu terlelap ?

Kupikir kau masih ingat semua itu.
Dan itulah yang terekam di malam yang demikian sepi ini. “Ah memang, bila duahati saling menyinta, maka bayangan perpisahan adalah hal yang paling menakutkan.”
Tapi, yang paling menakutkanku saat ini, adalah memberi jawaban akan isi suratmu; yang nampaknya seperti makan buah simalakama…

(Kujawab salah.
Tidak kujawab lebih salah lagi)

Tidaklah mungkin bagiku untuk hadir dalam pesta pernikahanmu, sebagai syarat, bahwa kau akan menerima pinangan Fahmi jika aku hadir.
Juga, betapa tidak berharganya diri ini, jika karena aku tidak hadir, lalu kau menolak atau memutuskan untuk tidak menikah.
Sharon melia, apakah kau tidak keliru, memberikan syarat ini ?
Lalu, sampai hatikah kau, aku hadir di Jakarta menghadiri pesta pernikahanmu? artinya, haruskah aku menatap kau bersanding dengan-nya, sementara aku menggigit jari dibibirku ?
Di mana kau taruh perasaanmu, kekasih ?
Apakah kau tidak terlalu kejam ?
Ataukah engkau memang sengaja menghancurkan diriku? Maaf. Aku kira, kau tidak mungkin mau menyiksaku dengan memberi syarat tersebut.
Atau, adakah makna lain yang tidak kumengerti, setelah kau berbicara dengan adikku Yeyen?
Lalu apa isi pembicaraan kalian ?
Adakah hubungannya dengan permintaan adikku, bahwa hanya dirmu satu-satunya yang dapat menggagalkanku untuk berangkat ke Los Angeles ?
Aku bingung, Sharon!
Aku tak mengerti, sayang. Aku butuh penjelasanmu. Yah, penjelasanmu sehingga tidak membuatku merana seperti ini.

Sharon Melia sayangku.

Aku memang mencintaimu melebihi diriku. Tapi, bagaimanapun aku harus tahu diri, dan tidak mencoba menghalangimu untuk menikah dengannya. Dialah yang berhak memilikimu, mencintaimu serta membahagiakanmu. Ingat itu. Apalagi seperti katamu, dia begitu sayang padamu. Lalu apa lagi yang kau cari?
Sudahlah Sharon, jangan kau siksa aku dengan syarat yang tidak masuk akal itu. Menikahlah dengannya, serta biarkan aku melangkahkan kaki dan berkelana jauh ke Amerika sana. Mudah-mudahan seperti pepatah orang LA, Out of sight, out of mind. Kendati sudah kupastikan aku takkan mampu untuk melupakanmu.
Gagal berangkat ke LA adalah hal yang tidak mungkin. Apalagi, seluruh kebutuhanku sudah diurus oleh NAMURANIOTOAN; ticket, referensi, dan dia sudah pastikan, aku mendapat apartemen di LA yang diurus oleh adiknya, Hosokawanaulibasa, termasuk tempatku bekerja, sebuah perusahaan penerbitan pers lokal, yang membutuhkan penanggungjawab rubrik-budaya Melayu.


Sharon Melia kekasihku.

Minggu lalu, ketika aku telepon ke Jakarta, dan berbicara dengan ayah, memang terus terang kusebutkan namamu, termasuk seluruh masalah yang menghinggapi diriku. Ayah memang sangat mengharapkanku kembali ke Jakarta dengan janji, bahwa dia akan menghubungimu dan hakul-yakin dapat meminangmu.
Tapi sudah kukatakan, agar ayah membatalkan niatnya. Sebab, taruhlah engaku mau dan setuju, bukankah itu, akan menyiksa seorang laki-laki lain ?
Aku tidak ingin egois, Sharon.
Aku juga memiliki perasaan. Perasaanku jauh lebih tinggi dibanding akalku. Itu pasti. Dan dominasi perasaanlah yang membuatku hengkang dari Jakarta, karena dengan begitu aku telah memberi kesempatan kepada pria lain untuk mereguk kebahagiaan bersamamu.
Ayahku memang sedikit memaksa agar sebaiknya aku membatalkan niat untuk berangkat ke LA. Tapi aku tak goyah.
“Ximenes kembalilah, soal Sharon Melia, serahkan masalahnya padaku, kalau itu yang menjadi pokok persoalan,” pinta ibuku.
“Betul, Ayah. Tetapi biarlah. Maafkan aku Ayah. Juga maafku kepada seluruh keluarga. Aku sayang Ayah, dan sayang pada semuanya.” Jawabku.
“ Kalau kau sayang ayah, kau harus pulang, Nak! Mana mungkin ayah bisa tenang, jika kau tak ada di sini. Hanya kau pelitaku. Kaulah yang bisa memberi kebahagiaan padaku.” Sahut ayahku, dengan tangis yang tertahan.
Aku juga menahan isak.
Ingin sebenarnya meledakkan tangis, tapi tak kulakukan, karena khawatir ayah akan semakin sedih. Aku khawatir juga, kalau-kalau penyakit jantung ayahku akan kambuh. Apalagi usianya sudah 77 tahun.
“Ayah, aku sudah tetapkan hati, dan pikiran. Aku akan kembali ke Jakarta jika Sharon Melia sudah menikah dengan tunangannya. Aku janji, Ayah. Aku juga tidak bisa hidup tenang, jika ayah tidak dalam tatapan mataku. Bukankah ayah adalah segalanya bagiku ?”
Ayah diam membisu, dari seberang sana. Yang terdengar hanya sesenggukannya serta helaan nafas ketuaannya. Ah.
“Baiklah, Nak ! Kalau toh kau harus berangkat juga ke LA, sebelumnya, teleponlah aku, agar aku memberangkatmu dengan doa kepada Tuhan supaya engkau selamat sampai di tujuan.”
“Ya, Ayah. Doaku juga untuk Ayah.” Jawabku. Dan tampaknya ayah sudah mulai tenang dan bisa menerima kenyataan.
Begitulah pembicaraanku dengan ayah. Saya tidak tahu, apakah setelah itu, mereka menghubungimu. Tapi, dari suratmu saya menyimak, ini mungkin bahwa kau telah mereka hubungi. Benarkah ?

Sharon melia,

Kemarin, aku juga menerima surat dari adikku, Yeyen. Inti suratnya, bahwa dia ingin menemui dan berkenalan denganmu. Apakah sudah? Sebenarnya, aku ingin melarangnya. Tapi, biarlah. Yeyen memang paling menderita setelah aku berangkat dari Jakarta.

Sharon Melia belahan jiwaku.

Seperti kusebutkan di atas, keberangkatanku ke LA adalah tanggal 7 Juni ini, dengan pesawat Trans World Airways (TWA) langsung ke LA, setelah transit sebentar di Hamburg, Jerman.
Dari Singapore, mungkin ini suratku yang terakhir. Rasanya kau tidak sempat lagi untuk membalas surat ini.
Mengenai kado pernikahanmu, yang sangat ingin kukirimkan dari sini, rasanya menjadi gagal, karena kau tidak memberi kepastian apakah kau akan menerima atau tidak pinangan si Fahmi. Ini berarti, untuk sementara, saya menyimpulkan, dengan saya tidak datang ke Jakarta, berarti kau menolak untuk menikah. Hal ini yang harus kupikirkan nanti setelah sampai di LA.

Sharon Melia,

Keberangkatanku yang sudah pasti ini mungkin mengecewakan dirimu. Tapi, bagaimanapun, keputusan yang lahir dengan segala pergulatan bathin ini, harus kulaksanakan, dengan harapan, semua akan mendapat ridho Tuhan.

Sharon Melia,
Meski tatap pandangku tidak lagi dapat melihat wajahmu dan meski nanti jarak antara LA-Jakarta nun begitu jauh, aku yakinkan diri, bahwa engkau akan senantiasa melekat di hati dan pikiranku.
Terima kasih, atas segala kebahagian yang kau berikan selama kita bergaul akrab. Doaku untukmu.





Salam sayang,

HA Ximenes.


















L I M A










(surat HA XIMENES menjelang ke berangkatannya ke Los Angeles)
















Singapore 6 Juni 1995

Sharon Melia kekasih hati.

Gelap menggantung di langit. Tak ada bintang. Apalagi bulan. Kecuali temaram lampu taman, tak ada sinar di pantai ini.
Buih ombak beriring, laksana deretan sekelompok kambing putih berjalan ke tempat mencari rumput.
Sementara itu, kerlap-kerlip mercusuar di laut sana, dan sorot lampu kapal sesekali menjadi perhatian mata ini.
Malam ini, aku sengaja datang ke pantai ini. Pantai satu-satunya yang ada di Singapore ini..
Tujuanku, tentu saja untuk mengajak atau membuat pikiran ini, berkelana ke Pantai Melia Sol dan pantai Kuta di Bali sana.Pantai yang masih dekat dengan Indonesia, karena menurutku, jarak yang begitu dekat, akan mudah mengajak pikiran dan hati ini dalam swasana yang pas, yakni swasana seperti ketika kita berada di Pulau Bali sana.
Benar.
Pikiran menerawang jauh ke Bali sana. Terekam jernih segala hal yang tercipta antara aku dan kau.
Begitu indah.
Begitu asyik
Begitu syahdu.
Dan malam ini, terngiang lagi, saat kita berdebat tentang rumusan cinta yang sebenarnya, yang hingga kini, kau belum juga mampu untuk menjawabnya, sedangkan aku mengatakan, cinta itu adalah penyakit.
Ingatkah kau, ketika aku bertanya, manakah yang kau pilih :

(hidup dengan seorang yang mencintaimu, tetapi kau tidak mencintainya.
Atau...
hidup dengan seorang yang kau cintai, tetapi tidak mencintaimu.)

Saat itu, kau bersikukuh untuk memilih yang pertama. Dengan alasan, lebih enak dicintai. Alasanmu, hal itu pasti lebih indah, dan bisa sedikit “ bertingkah “. Sementara saya memilih yang kedua, dengan dalih, akan dapat menciptakan keadaan yang lebih dinamis, serta kreatif. Sebab dengan mencintai seseorang, meskipun dia tidak mencintai kita, akan selalu ada usaha, bagaimana menumbuhkan cinta pada orang yang kita cintai, sehingga pada akhirnya akan bermuara kepada : “ Saling-mencintai.”
Saat itu, pikiran kita buntu.
Buntu sekali.
Kebuntuan mungkin juga, karena sebenarnya kita tidak begitu intens tentang rumusan cinta, tetapi lebih pada swasana hening atau swasana indah saat itu. Swasana yang mengharubirukan hati dan perasaan kita. Saat yang tentu saja, tidak mungkin lagi kita lupakan dalam hidup kita.
Kini, apa yang hendak kukatakan padamu Sharon ?
Besok pagi,aku sudah harus berangkat ke LA. Pasti. Memang, sampai kemarin, aku masih bergulat, apakah akan berangkat atau tidak, meski segala kebutuhanku sudah tersedia.
Ini semua terjadi, karena ada telepon dari Kakak iparku Thiodor-nagok-arsak, bahwa penyakit Ibu kambuh. Gula, dan darah tingginya kumat.
“Ximenes, Ibu tidak mau ke RS, padahal seluruh keluarga, sudah membujuknya.” Jelas kakakku, dengan serius.
“ Mengapa ?”
“ Kami juga, tidak mengerti. Kami sudah mencoba membujuknya. Tapi, Ibu bersikukuh untuk di rumah saja. Padahal, untuk duduk saja ia sudah tidak mampu.”
“ Lalu ?”
“ Begitulah, dik. Percaya atau tidak, yang kami dengar dari Ibu, dia baru mau dibawa ke RS, jika kau yang membawanya.”
“ Harus aku ?”
“Ya!”
“Itu tidak mungkin, Kak! Tidak mungkin. Aku sayang Ibu, juga kalian semua. Tetapi, aku juga sayang diriku. Aku sudah harus berangkat.” kataku.
Kakakku diam, sampai hubungan telepon terputus.
Begitulah Sharon. Niatku bulat. Bulat. Apalagi, hingga kemarin, masih juga aku merenung “ Apa yang hendak kukatakan mengenai seorang wanita yang goyah antara dua pria ?”
Pastilah :
(yang seorang menjalin mimpi saat ia terjaga di luar mimpinya.
yang seorang lagi, menciptakan impiannya di saat - saat ia jaga.)

Nah, posisi yang manakah aku, jika kembali ke Jakarta ? Jadi kekasih yang dicintai, tetapi tidak berhak untuk memiliki ?
Ini tidak mungkin.
Aku tidak mau.
Aku tidak rela.
Aku mencintaimu. Tapi tidak menggadaikan cinta dan harga diriku, meskipun harus mengorbankan segala yang ada, termasuk telah melukai hati Ibu,hati Ayah, dan orang-orang lain yang mengasihi aku. Ini, memang konsekwensinya. Berat. Tapi, mau apa lagi ?
Sharonku sayang, Sharonku manis.
Tadi siang aku juga berbicara banyak dengan NAMURANIOTOAN.
Dia jelaskan, bahwa, kalau aku tekun dan bernasib baik, maka hanya dalam tempo enam bulan, aku sudah bisa memiliki mobil sendiri, dan pindah ke flat yang lebih baik. Menurutnya, Amerika Serikat (AS), khususnya di LA, sangat menghargai kemampuan; artinya, semakin dalam pengetahuan seseorang, apalagi kemampuan tersebut adalah kekhususan, maka akan semakin tinggi penghargaan, termasuk dalam hal membayar upah.
Kau tahu, kemampuanku dalam hal sastra, khususnya Sastra Melayu, bolehlah kubilang prima. Namun, semuanya pastilah sangat tergantung pada nasib, atau ridho Tuhan.
Oleh karena itu doakan aku, Sharon. Berdoalah, sehingga segala harapan yang menggantung di dada ini, bisa terwujud. Maukah kau mendoakan, agar aku suskses ?
Sharonku.
Kau pasti tahu, aku tidak dan paling tidak suka akan segala barang yang “Wah.”
Aku suka yang sederhana.
Yang apa adanya.
Tapi, tahukah kau, bahwa di kamarku sekarang, ada koper kulit yang mahal, celana, kemeja, jam tangan, dasi, sepatu ? Dan satu lagi, ada dua pasang kaos kaki.
Barang-barang tersebut, tentu saja bukan milik orang lain. Tapi milikku. Semuanya, adalah ulah Namuraniotoan.
“ Aku tidak ingin dimaki oleh adikku, jika kau sampai di LA.” katanya, ketika aku bertanya dan mencoba menolak pemberiannya.
“Lho, apa hubungannya semua ini, dengan adikmu Hosokawanaulibasa, hah?” Tanyaku.
“Pasti dia akan marah. Dia akan mengatakan, bahwa aku sudah tidak peduli pada orang lain, jika kau tiba di sana, dengan ransel, levis, kaos...mu, yang serba kumal itu.” Jelasnya, setengah berseloroh.
Lalu dia berceritera tentang siapa dirinya sebenarnya.
Namuraniotoan, adalah pewaris utama sebuah perusahan raksasa, PT FRIENDSHIP SERVICES, yang salah satu anak perusahaannya, bergerak di bidang penerbitan pers di Jepang.
Ayahnya, Shuneo-Atmowiloto. mengharap Namuraniotoan, dapat mengelola, atau mengambil peran khusus di anak perusahaan, yang mengelola penerbitan pers. Dan setamat dari perguruan tinggi (mirip atau setara dengan Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang di Lenteng Agung.), ia dianjurkan untuk menekuni salah satu bidang pemberitaan, dalam Investigative Reporting.
Begitulah Sharon. Aku tidak dapat menolak semua pemberiannya. Apalagi, kulihat tatapan matanya, bahwa pemberian tersebut, tulus dan tanpa pamrih. Aku terharu.
“Terimalah sahabat. Persahabatan kita yang cukup singkat, memberi makna yang dalam bagiku.” Tuturnya.
“Makna yang dalam ?” Aku mencoba, menangkap maksudnya.
“Ya. Dalam sekali. Baru kali ini, aku bertemu dengan teman se-kost dari Asean , yang begitu bersahabat denganku. Biasanya, karena aku ini orang Jepang, selalu mereka identikkan aku, dengan sifat-sifat ekspansionis bangsaku. Lalu, mereka lebih sering membuka lembaran-lembaran yang berisi kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan oleh bangsa kami terhadap bangsa lain. Apalagi, kalau mereka itu dari Korea. Kadang, tidak mau diajak kompromi.” Jelasnya.
“O,iya.” cetusku, penuh minat.
“ Kau lain. Sangat lain. Di hatimu, penuh dengan kasih. Tak kau bedakan, apa dan siapa. Ini, sudah kurenungkan di hari pertama pertemuan kita; saat kau menawarkan setengah pisang gorengmu padaku. Hari kedua, kau membersihkan tempat tidur kita. Dan hari ketiga, kaupun menyeduh kopi untuk kita berdua. Itu semua, sudah cukup bagiku, bahwa kau adalah sahabat sejati. Apalagi, setelah kau tuturkan semua, apa dan siapa kau, serta mengapa kau tinggalkan Indonesia.”Lanjutnya, dengan keteduhan suaranya.
“Ah, jangan memuji, kawan.”
“Aku tidak memuji. Tapi, aku harus berani berkata yang benar.”
Aku tersenyum. Hm. Senang juga, sih !
“ Pesanku, kalau kau sampai di sana dan bertemu adikku, tolong jaga dia. Usianya yang 25 tahun, belum cukup untuk menjadikan dia dewasa. Dia cerdas. Tapi sedikit lugu, dan mudah larut dalam swasana. “
Aku tertawa.
Ngakak.
“Masa aku yang menjaganya, padahal adikmu sudah lebih dulu sampai dan bermukim di sana.”
“ Betul. Tapi, aku yakin, bahwa kau akan cepat beradaptasi dengan LA, dan situasi di sana. ‘ I know who you are.’And believe, you must be succes’. Sungguh!”
“ Okelah!”
“ Janji ?”
“ I promise. And don’t Worry.”
Dan kami sepakat, untuk saling menyurati, di mana pun kami berada.
Sharonku.
Jadi aku tidak ragu-ragu lagi untuk berangkat. Kuminta, sepotong doa darimu, agar aku sampai dengan selamat di tujuan, dan sukses menggapai karir.
Dan segera setelah aku sampai di LA, akan kusurati engkau, sekaligus memberitahu alamatku, siapa tahu, dan mengharap engkau mau membalas suratku. Setuju ?



Dari kekasih jiwamu.

HA Ximenes




















E N A M





Bibit Cinta
(Surat pertama Ximenes dari LA)



















Los Angeles, 10 Juni 1995


Kami bertatapan sejenak.
Dia ragu.
Aku juga bimbang.
Aku tidak mengenal Hosukawanaulibasa, seperti halnya dia juga tidak mengenalku. Kalaupun kemudian kami saling menyapa, hanya karena Namuraniotoan, sudah menelpon dia dari Singapore, dan memberitahu ciri-ciri wajahku kepadanya. Sedangkan aku menyapanya, hanya karena di tangannya ada slempang kertas bertuliskan HA XIMENES.
Di pesawat Trans World Airways yang membawaku, kubayangkan, aku akan berjumpa dengan seorang wanita Jepang, berusia 25 tahun, bermata sipit, agak pendek dan gemuk. Sehingga, menurutku pastilah “kurang menyenangkan atau tidak sedap dipandang mata.”
Tapi begitu jumpa, semua yang terbayang atau yang ada di benak menajdi sirna.
Cantiknya, aha mirip Jihan Fahira.
Kulitnya yang sawo matang.
Rambutnya dipotong pendek.
Tata bibirnya yang dipoles halus dengan sedikit gincu warna pink, menjadi sangat serasi dengan kulit wajahnya.
Aku terkesima sejenak. Apalagi, setelah aku mendekat, aroma parfum yang dipakainya, menyegarkan hidungku, untuk kemudian tersadar bahwa aku sudah sampai di negeri Paman Sam, Los Angeles.
Dia lebih dulu menyapaku.
Kusambut.
Dan kami bersalaman, sambil menyebut nama masing - masing.
Dia senyum.
Aku juga.
Dia menatapku.
Aku balas.
Lalu, ntah mengapa, tiba - tiba saja secara serempak dan tanpa dikomando kami mengenakan kacamata hitam masing-masing.
Kami tersadar. Karena serasa ada hal lucu. Atau mungkin kami sama - sama grogy. Tak tahulah. Yang pasti, sesaat kemudian, kami telah terlibat bincang-canda sambil menunggu bagasi.
“Kata abangku, kau akan mengenakan Levis butut dan kaos rombeng.” Ujarnya, memulai pembicaraan.
“Tadinya memang begitu. Tapi, dia pulalah yang memaksa aku untuk mengenakan semua ini.” Jawabku terus terang.
“Oo...o. Untung saja demikian. aku paling sebel jika laki-laki mengenakan pakaian seperti itu.”
“O, iya. Mengapa ?”
“Ntahlah. Pokoknya aku tidak tertarik.”
“Jadi, apakah dengan pakaian yang kukenakan sekarang ini membuatmu menjadi tertarik, atau tergoda?” Sindirku dengan sedikit senyum.
“ Lumayanlah...”
“Lumayan, maksudmu?”
“Lumayanlah. Dibandingkan dengan tunanganku DoraemonDipabego.”
“Hoho...ho. Aku bangga juga, nih!”
“ Jangan GeeR, dong!”
Kami tertawa.
Tertawa lepas. Lepassss.
Sungguh-sungguh tertawa. Wawa wa.
“Jadi kau sudah bertunangan ?”
“Lho, tadi kan sudah kusebutkan.”
“Sorry, aku lupa. Mungkin karena perut ini sudah mulai keroncongan.” Sahutku.
“Lapar ?”
“Ya.”
“Lapar sekali ?”
“Nggak terlalu. Tapi yach laparlah.”
“ Jadi kalau kau lapar, suka lupa, iya?” Celetuknya, seolah ngeledek.
“Bisa juga.” Kataku membalas.
“Kalau gitu, saat ini juga kau lupa akan namaku?”
“O, yang itu sih, pasti nggak dong!”
“ Coba sebut, siapa?”
“Hohoho...suka”
“Nah, ketahuan sekarang. Namaku saja kau tidak lancar menyebutnya.”
“Hosukawanaulibasa, khan?”
“Good. Tapi panggil saja aku Uli. Oke?”
“Mengapa harus Uli ?”
“ I don’t know. Everyone, in Campus, call me Uli or Yuli.”
“Haha..hayaaaa. You know the meaning Uli in Bataknese ?”
“No. What’s the meaning Uli in Bataknese?”
“ Beautiful. Bagak. Cantik. Cantik nian.”
Dia senyum.
Aku menimpalinya.
Lalu, dia membuka tasnya, mengambil permen karet doblemint dan menyodorkannya padaku.
“Sekedar menahan laparmu,” katanya.
Aku terima.
Aku kunyah. Nikmat. Segar.
Kemudian ia menuntunku ke luar setelah koper dan ranselku tiba.
Kami tinggalkan bandara dengan mobilnya. Bumm.
“Kita makan dulu sebelum kuantar kau ke apartemenmu. Setuju ?”
Aku mengangguk.
“ Mau makan apan, Nes ?”
“ Eit...namaku HA Ximenes “
“Sudahlah. Abangku bilang begitu.”
Aku bengong.
Bengong. Sungguh! Caranya memanggilku, seolah-olah kami ini sudah berteman lama. Padahal belum satu jam. Hoh…
“Terserah kaulah.”
Lalu aku dibawanya ke sebuah restaurant Delicious, dan dia memesan steak. Pepper steak.
Enak juga. Dagingnya empuk, mirip empal goreng.
“Enak?” Tanyanya.
“Enaklah. Habis sudah lapar berat, sih!”
“Nambah?”
Aku menggeleng. Padahal perutku masih meminta. Maklum perut orang Asia, kalau belum masuk nasi, namanya tetap saja belum makan.
Selesai makan, kami langsung ke flat, di Boulevard Raya 41059. Hanya 45 menit, kami sudah sampai.
“Oke. Aku tidak bisa lama-lama. Sore nanti aku harus memberi prensentasi, perihal perbandingan relationship ala Timur, khususnya Jepang dengan relationship ala Amerika. Besok aku akan ke sini. Jangan ke mana – mana. Isterahat saja dulu sampai besok, setelah itu aku akan menghantarmu keliling daerah ini.” Katanya, sambil menyodorkan kunci padaku.
Aku manggut saja, kayak kerbau dicucuk hidung. Habis mau apa lagi ?
“ Eh, kalau ada hal sangat penting, hubungi aku di hand-phone-ku : 0811- 840609.
Lalu dia pergi. Tak tahu ke mana.
Aku diam.
Kupandangi kamarku. Kuperiksa; ada kamar mandi, toilet, lemari pakaian, tempat tidur, tv, meja tulis, satu set computer, radio , jam weker, dan Bibel.
Aku menjadi terperanjat, karena di atas meja, ada selembar kwitansi, “ Sudah terima dari HA XIMENES, pembayaran sewa 6 bulan US $ 6,000.
Mulutku terkunci rapat. Tak dapat berkomentar apa-apa, kecuali merenung dan hening melipat tangan berdoa :
“Tuhan yang maha pengasih sekaligus penyayang, terimalah ucapan syukur dan terima kasih dari hamba-Mu. Jika sejak dari Singapore, telah kau pertemukan aku dengan orang yang sungguh-sungguh baik, pertemukan pula aku di hari yang akan datang, juga dengan orang yang baik-baik pula.” Amin.

Sharon Melia.

Saat ini, aku belum bisa berceritera banyak terhadapmu. Apapun yang kuceriterakan di atas, hanya sekedar menggambarkan kepadamu, bahwa aku sehat-sehat saja. Maksudku, dengan menceriterakan sekilas pertemuanku dengan Hosukawanaulibasa, tentu pikiranmu menjadi tenang, dan tidak membayangkan hal-hal buruk yang menimpa diriku.
Tambahan lagi, jika sempat, tolong telepon ayahku di (021) 7703537, beritahu, bahwa aku sehat-sehat saja. Kalau ditanya perihal aku, katakan saja belum sempat menyuratinya. Karena selain belum memahami kota LA, juga karena masih letih dan lelah.
Bagaimana denganmu, sehatkah kau hasian, dan apakah dua surat terakhir yang kukirim dari Singapore sampai ke tanganmu ?
Mudah-mudahan kau sehat. Doaku untukmu. Jangan lupa, salamku untuk casumu dan kakakmu Resmaida.

Salam mesra berbalut kerinduan yang dalam.




HA XIMENES

Boulevard 41059 Los Angeles
USA









T U J U H





Perasaan Hati yang Cemburu

(surat pertama Sharon Melia ke LA
HA XIMENES)



















Jakarta, 22 Juni 1995

HA Ximenes.
Engkau telah hujamkan busur asmara ke dalam hati yang paling dalam.
Dan, ketika asmara cinta mengikat lekat, kau menariknya dengan paksa hingga terluka, sampai akhirnya tak hanya menebas pengikat cintanya, tetapi hampir merebut bagian lain yang dapat memisahkan jiwa dari tubuh. Untungnya syair pengkhotbah melekat tajam dalam benak yang membuatku sadar …

( ada waktu untuk menangis
ada waktu untuk tertawa
ada waktu untuk meratap
ada waktu untuk menari)

Jika air mata sudah terkuras, sejak kutahu engkau tetapkan hatimu ‘tuk berangkat juga ke LA, air mata yang mana lagi yang dapat kutuang, untuk menangisi situasi di mana jarak yang memisahkan aku denganmu yang semakin jauh ini...
Kucoba merenungkan dalam, makna dari semua peristiwa ini bagi diriku dikemudian hari; artinya adakah semua ini adalah cobaan hidup bagiku, atau mungkinkah ini sebuah karma atas semua sikap dan perilaku yang kulakukan selama ini ?
Aku sadar, aku telah mengecewakan beberapa pria yang mencoba mendekat dan menyampaikan cinta padaku. Itu semua kulakukan, tentu saja bukan bermaksud menyakiti mereka atau semacamnya. Tetapi yang pasti adalah bahwa tidak mungkin bagiku untuk menerima cinta dari beberapa pria sekaligus.
Kinilah kuyakini, bila selama ini ada anggaban, bahwa wanita adalah mahluk aneh; maka aku akan berkata sekarang, laki-lakilah yang aneh. Bahkan super aneh.
Aku berani menyebutnya, karena aku merasakannya kini. Bukti yang paling sederhana, aku senantiasa menyambut sapaan pria dengan segala keramah tamahan yang ada padaku. Karena kalau tidak kulakukan demikian, pastilah aku akan dicibir dan menganggabku sebagai wanita sombong. Tetapi akibat dari keramah-tamahan yang kuberi, para pria sering menyalahartikan yang seterusnya mereka dengan memasang acting-nya dan mulai menggoda serta pada akhirnya menyatakan cinta.
Dan ketika aku menghindar dan apalagi menyatakan tidak, mulailah terjadi petaka :

ada yang menangis,
ada yang kecewa,
ada yang frustasi,
dan.... Ah.
Dan dari semua pria “Yang menggodaku” minus casuku, tanpa bermaksud lagi menutup-nutupi, aku sungguh-sungguh jatuh cinta kepada salah seorang di-antaranya. Dan pria itu adalah engkau Ximenes.
Rasanya…

Bukan hanya jatuh cinta
Bukan hanya jatuh sayang

Tapi juga jatuh hati pada semua yang kau miliki; Ya tubuhmu. Juga sikap dan sifatmu.
Sebab, ketika masih di Jakarta, aku hanya tertarik sebatas, sikap dan sifatmu yang dapat menerangi jiwa; yang senantiasa membuatku selalu dalam keceriaan.
Kini, ternyata aku juga tertarik pada apa yang kau miliki…
rambutmu,
bibirmu
matamu
dan juga caramu berpakaian, yang sederhana, yang selalu tampak, bahwa “ Kau adalah dirimu sendiri.”
Kau tak pernah tergoda untuk seperti orang lain, meskipun sering kali kucoba, mengkritik, atau menganjurkan agar kau dapat menyesuiaikan keadaan, keadaan di mana setiap orang berlomba untuk tampil sesuai zaman.
Namun, engkau selalu menjawab, bahwa semua itu hanya akan membuat dirimu menjadi tidak percaya diri.

HA Ximenes.

Dulu, engkau selalu mengajariku dengan berbagai agam diplomasi.
Kau sebutkan, dalam hal menyampaikan sesuatu, memang sangat baik jika to the point, saja. Tetapi, menurutmu hal tersebut, tidaklah bijakasana, karena tidak memberi kesempatan kepada orang lain untuk “menarikan” akalnya, untuk memahami sesuatu. Itulah sebabnya, dalam balasan suratku yang lalu, kusebutkan, bahwa “ Aku akan menikah dengan Fahmi, jika kau hadir di Jakarta, dan menyerahkan sendiri kado pernikahanku.”
Sebenarnya aku ingin mengatakan, bahwa, Aku hanya ingin menikah denganmu, apapun resiko, atau seberat apa pun bebannya. Dan kupikir, kalimat tersebut, sudah cukup untuk membatalkan niatmu berangkat ke LA, dengan demikian pula, kau akan segera pulang ke Jakarta, untuk meminangku dan membawaku ke mana saja kau akan pergi.
Anehnya kau pergi, dengan alasan kau tidak ingin menyakiti hati laki-laki lain, yaitu calon suamiku.
Nah, apakah kini aku boleh menyebutmu sebagai laki-laki bebal atau yung tidak punya otak? Atau yang hanya mampu mencerdaskan orang lain, tapi membodohi diri sendiri, hah!
Apalagi yang harus kulakukan, sehingga pikiranmu jernih untuk menyelesaikan semua masalah. Oh...Aku benar-benar tidak mengerti akan sikapmu.
Kau harus tahu, bahwa aku ini bukan dan belum menjadi isterinya Fahmi. Jadi, masih dan baru sebatas calon. Sekali lagi calon isteri.
Mengertikah kau artinya calon ?
Mudah-mudahan.
Nah, begitulah Ximenes, aku tidak akan menikah dengannya. Tidak akan.Titik. Aku akan menunggumu, sampai kapan pun, meski sampai gigi ini semua bertanggalan dan kendati nanti, kau sudah menikah dengan wanita Amerika atau wanita Jepang atau wanita mana pun. Aku akan menunggu, meskipun nantinya, aku akan menjadi isteri kedua atau isteri ketiga, atau isteri ke ke berapamu. Aku rela dan bersedia. Sebab, sudah kutetapkan hati, bahwa Aku akan SETIA SAMPAI AKHIR.
Dan ingat, ini bukan pengorbanan. Tapi sungguh-sungguh karena aku mencintaimu.
Kau tahu Ximenes ?
30 Mei lalu, keluarga Fahmi telah datang untuk marlaning-laning (bincang-bincang pendahuluan) kepada keluargaku untuk membicarakan hubungan kami, khususnya rencana pernikahan .
Abangku Marudut yang mewakili pihak keluarga begitu antusias. Hatinya berbunga-bunga.
Maklum saja, siapa sih yang tidak ingin adiknya menikah dengan seorang manejer bank dan telah menyediakan semua keperluan rumah tangga ?
Keluarga Fahmi, sangat berkeinginan agar pesta tidak ditunda lagi Juni. Tanggal tersebut dipilih, selain hari kelahiran si Fahmi, juga menurut Astrologi adalah hari baik untuk pernikahan. Tapi engkau tahu apa yang terjadi. Aku selalu diam membisu, kendati dengan berbagai cara Marudut menyatakan ini-itu. Bahkan lebih tepat kalau aku menyebutkan bahwa dia membujukku.
“Mengapa selal diam ?” Tanya Marudut.
“Apakah Abang yakin, bahwa aku mau menikah dengannya ?”
“Lho, apa-apaan ini? Bukankah hubungan kalian sudah demikian lama, dan kutahu, kalian sendiri sudah ada sepakat untuk menikah ?”
“Itu dulu!”
“Dulu? Sharon, apakah kau sadar dengan ucapanmu ?” Bentak Abangku.
“Sadar, bang! Tapi, suara abang tidak perlu meninggi. Volumenya dikecilin. Apalagi jarak kita dekat, kok!” Pintaku.
Abangku diam sesaat. Dahinya mengkerut pertanda dia sedang berpikir keras.
“Aku bingung, Dik! Sebeanrnya apa yang terjadi di antara kalian?” Tanya Marudut lagi.
Aku diam sejenak.
Aku menunduk.
Pikiranku mencari-cari kata yang tepat untuk menenangkan hati abangku. Sesekali kulayankan pikiranku padamu untuk mencari inspirasi.
Aku tahu abangku sangat sayang padaku. Karena itu, apapun yang menyangkut permasalahank akan menjadi pusat perhatiannya.
Kutegarkan hatiku, lalu aku bertanya, “Apakah Abang marah, jika aku tidak mau menerima lamaran Fahmi?”
“Maksudmu?”
“ Jawab dulu, Bang! Apakah Abang, marah jika aku menolak lamarannya?”
“ Lho, adik ini bagaimana, sih? Aku makin tidak mengerti. Yah, tidak mengerti. Ku tahu, kalian sudah cukup lama berhubungan. Jadi, kalau kau tiba-tiba menanyakan seperti ini, selain tidak mengerti, juga menjadi bingung,” Jawab Marudut, dengan wajah yang tampaknya menahan marah.
“Abang ingin aku bahagia khan?”
“Pasti adikku.” Jawab abangku.
“Sungguh ?”
“Sungguh,adikku.”
“Aku akan berbahagia, jika tidak menikah dengannya.” Kataku, sambil menatap wajahnya dengan sungguh-sungguh.
“Hah. Apa yang terjadi, dik ?” Tanya abangku dengan mimik super serius.
“ Tidak ada apa-apa. Hanya begitulah harapanku, bahwa aku tidak ingin menikah dengannya.” Jawabku polos, tak pedulikan perasaan abangku, yang selama ini sudah bergaul akrab dengan Fahmi.
“Bah! Mau taruh di mana muka abang dan keluarga jika kau menolak menerima lamarannya. Ah. Aku malu, dik !”
“Mengapa harus malu? Bukankah kami masih sebatas bertunangan ?”
“ Ya. Tetapi Adik harus mengerti, bahwa sanak famili sudah mengetahui, bahkan sudah menanti-nanti hari pernikahan kalian.”
“Begini, Bang! Kutahu bahwa perkawinan bukanlah arena coba-coba. Aku tidak ingin memaksakan hati ini untuk mencintainya dengan utuh. Lagi pula, andaikan perkawinan hanya diprogram untuk satu atau dua hari, atau untuk satu bulan saja maulah aku kawin dengannya, dengan asumsi, biarlah kutahan dan kurelakan hati ini sekejab untuknya .”
“Jadi hubungan kalian selama ini...?” Tanya abangku dengan mimic terperangah seperti tidak percaya.
“Ya. Kami memang sudah lama berhubungan. Lama sekali, jika ukurannya adalah detik, menit, hari atau bulan. Tetapi dalam arti yang sebenarnya, khususnya paduan hati, rasanya, hubungan kami hanya selintas-kilas saja Maksudku, hati ini belum pernah terjamah oleh cintanya.”
“Maksudmu ?”
“Fahmi memang sangat mencintaiku. Menyayangiku. Aku tahu itu. Baginya, aku ini adalah segalanya. Mungkin juga aku dianggabnya dewa. Menurutnya, dia menjadi bergairah dalam mengerjakan segala hal jika aku ada di benaknya; apalagi kalau aku berada di dekatnya”
“ Bagus dong. Itu berarti pria itu, cocok untukmu. Selain mencintaimu dia juga sudah menyediakan segala sesautu untuk masa depan kalian.” Sanggah abangku.
“Aku tahu itu, Bang. Aku cocok untuknya. Tapi, cocokkah dia untukku ? Lalu, apakah abang yakin, jika segalanya sudah tersedia; rumah, mobil, peralatan rumah tangga, deposito 2,2 miliar, dan lain-lainnya sudah menjamin, bahwa kelak akan bahagia? Bang, ukuran kebahagiaan, bukan materi,kan?” Jelasku, mirip seorang dosen yang memberi kuliah pengantar filsafat.
“ Kau ini semakin pintar saja; dari siapa kau menerima pelajaran seperti itu...?” tanya abangku mencoba menyelidik.
Aku diam sejenak.
Dalam hati, aku tersenyum. Tersenyum, karena terlintas wajah dan mimikmu, saat-saat kau menjelaskan apa saja pengertian kebahagiaan. Engkau katakan, “Kebahagiaan adalah bila seseorang terlepas dari perasaan susah dalam waktu yang relatip lama.”
“Bang Marudut, aku ini sungguh-sungguh ingin berbahagia, hari ini, esok dan masa yang akan datang. Aku hanya ingin menikah dengan pria yang mencintaiku utuh, dan aku juga mencintainya dengan untuh pula; artinya, cinta yang ada tidak tumbuh karena harta dan tahta. Sekali lagi, I would like to marry with man who love me, and I love him, too.”
“ Terus harus kukatakan apa kepada keluarganya? Bukankah ini, akan sangat menampar hati mereka?”
“Katakan saja, aku belum siap!”
“Lho, mereka itu sudah mempersiapkan segalanya. Kau tahu itu, bukan?” Abangku sedikit marah.
“ Aku tahu. Karena itu mereka boleh mencari wanita lain. Jakarta tidak selebar daun semangka, ” jawabku agak ketus.
“ Artinya, kau menolak kawin dengan Fahmi ?”
“ Ya. 100 persen”
“ Lalu bagaimana dengan segala rencana mereka ?’
“ Yang punya rencana khan mereka. Bukan aku. Aku tidak mau kawin dengannya.Titik.”
Abangku terpaku. Diam. Mulutnya terkunci rapat. Wajahnya memerah dan ingin marah. Tetapi tak berani. Dia tahu persis sifatku. Kalau sudah kukatakan tidak, pastilah tidak.
“Kalau begitu, aku harus bicarakan ini, dengan kakakmu Florence.
“Bagus. Tapi, katakan pada kakak, bahwa aku tidak mau kawin dengan Fahmi.”
Abangku pergi.
Pergi saja, tanpa permisi lagi.
Hatiku lega. Lalu aku beranjak ke kamarku, menghidupkan radio : 101,6 mhz, Radio DERABA ( Dengan Radio Anda Bahagia.)
Terdengar alunan musik, dan lagu…

(I don’t like to sleep alone
stay with me don’t go
Talk with me just a while
so much of you to get to know
Reaching out, touching you
leaving all the worries all behind loving you, the way I do
my mouth on yours and yours on mine
Marry me or let me live with you....)


HA Ximenes.
Dua hari lalu, Fahmi datang ke kantorku. Tak lazim.
Biasanya, kalau dia mau datang mesti mengaontakku via hanphone lebih dulu.
Wajahnya kusut dan agak kurusan.
Aku tak menanyakan mengapa wajahnya kusut. Sebab, aku sudah tak peduli. Kebosanan sudah mulai tumbuh pada puncaknya.
“Sharon, aku ingin bicara serius denganmu!” Katanya membuka kebisuan yang terjadi.
“Silahkan, ada apa ?”cetusku.
“Kok, tampaknya kamu seperti tidak punya masalah ?”
“Memang!”
“Lho? Sharon, cobalah sedikit membuka hati dan pikiran, aku ingin bicara serius denganmu.”
“Bicaralah. Aku akan mendengarkanmu.”
“Tetapi tidak di sini. Kita bicarakan di tempat yang tidak banyak orang.”
“Ah, aku malas. Lagi pula, aku ada janji dengan Agung Adiprasetio sore ini.” Jawabku sedikit ketus.
“Bah, apakah itu lebih penting, dibandingkan hubungan kita. Ingat, aku ini tunanganmu, lho!” Suaranya mulai agak keras.
“Pasti. Menjumpai pak Agung Adiprasetio hari ini, jauh lebih penting. Karena itu menyangkut perut dan masa depanku.”
“Yang mau kita bicarakan, justru lebih penting, karena menyangkut masa depan kita.”
“ Masa depan kita ?” Tanyaku sambil mendehem.
“Ya.”
“ Aku merasa tidak!”
“Sharon, aku ini serius.”
“Lho, apakah aku tidak serius ?”
“Oke. Apapun yang akan terjadi, tetapi kita jangan bicara di sini.” Pintanya.
“Sudah kukatakan, aku tidak mau. Kalau mau bicara, bicaralah !” Tegasku.
Dia diam.
Kulihat dahinya mengkerut. Aku, tahu, dengan wajah seperti itu, pikirannya sudah kacau balau. Itu sering kuperhatikan.
“Baiklah. Kemarin, aku jumpa dengan Lae Marudut. Katanya, kau menolak lamaran keluargaku. Apa betul ?”
“Betul !”
“ Apa maksudmu ?”
“Lho, apa kau tidak mengerti? Aku menolak !”
“Karena apa?”
“Karena tidak ingin menikah denganmu? Mengerti?”
“Lho, saya bingung, apa saya tidak salah dengar?”
“ Tentu tidak. Kecuali telingamu sakit.”
“Tapi, bagaimana dengan segala rencana yang sudah tersusun rapi?”
“Itu semua rencanamu. Bukan rencanaku. Apakah aku sudah menyatakan setuju dengan segala renacanamu? Aku belum pernah menyatakan setuju !”
“Sharon, hubungan kita sudah cukup lama. Banyak orang tahu betul bagaimana hubunganku denganmu. Termasuk keluargaku, juga keluargamu.”
“ Maaf, Bang Fahmi. Masalah itu, tidak perlu kita perdebatkan. Aku tahu, kita telah bertunangan. Tapi belum menjadi suami-isteri. Rasionallah sedikit. Yang suami-isteri saja, bisa cerai. Apalagi hanya sebatas tunangan. Itu pun, saya kira, bukan tunangan yang benar. Kita belum pernah tukar cincin, seperti halnya kebiasaan orang yang bertunangan. Bahwa dulu, aku pernah menyatakan ‘mau sama kamu’ tidak lebih karena kasihan. Kasihan, karena kau merengek-rengek, bahwa aku begitu berkenan di hatimu. Pernahkah aku menyatakan cinta padamu? Taruhlah pernah. Kalau itu yang terjadi, anggaplah sebagai sebuah kesalahan atau hanya ‘ Slip of Tongue ‘. Dan untuk itu aku minta maaf!”
“Apakah karena ada laki-laki lain ?”
“Oh...itu bukan urusanmu! It’s my business.”
“Atau, apakah karena aku telah membuat kesalahan, sehingga membuatmu kecewa terhadapku ?”
“Sama sekali tidak.Kau baik. Baik sekali. Cuma aku harus berterus terang, bahwa aku tidak bisa mencintaimu. Itu saja .”
Fahmi diam.
Aku juga.
Kami sama - sama diam.
Matanya mulai berkaca-kaca.
Tapi aku sudah tidak iba lagi seperti dulu. Saat itu, aku betul betul muak. Rasanya ingin segera beranjak dan memalingkan muka. Namun perasaan kewanitaanku timbul.
“Masih ada lagi yang ingin kita bicarakan, bang Fahmi?”
Dia mengangguk
“Bicaralah!”
“Aku masih ingin bicara. Tapi tidak sekarang. Nanti hari Sabtu, aku akan datang ke rumahmu!”
“Boleh saja, kalau aku ada di rumah.”
Dia berdiri, lalu memandangku sekilas.
“Aku pulang dulu, Sharon “
Aku mengangguk.
Deru mobil Kijangnya, tak lagi mengusik perhatianku. Malah, aku asyik mengkhayal, dan mereka-reka, apa yang kau kerjakan saat itu di LA. Perasaan hati, ada sedikit cemburu, kalau-kalau kau makin akrab dengan Hosukawanaulibasa.

HA Ximenes.

Jadi, hubunganku dengan Fahmi, mungkin sudah patah arang. Dan, itu adalah sesuatu yang berharga padaku. Dengan demikian, aku sudah bisa dengan leluasa berkhayal atau apa pun namanya, atau mungkin lebih tepat bernostalgia, akan semua kisah-kasih kita, dari pertama bertemu sampai engkau hengkang dari Jakarta. Ah, betapa indah, iya Ximenes ?
Nah, kini segalanya sudah jelas bagimu. tidak ada lagi yang saya tutup-tutupi. Sekarang bola di tanganmu. Kau tinggal memainkannya. Dan menunggu surat darimu, kini adalah pekerjaan utamaku. Kutunggu !

Sharon Melia.



D E L A P A N









HATI YANG BERGOLAK
(surat ke-2 los angeles untuk sharon melia)
















LA, medio Mei 2006


Sharon Melia, belahan jiwaku.

Waktu bergulir begitu cepat.
Dan ternyata, hari ini, Selasa, hari-hariku di LA, sudah memasuki hari ke 89. Jadi sudah hampir tiga bulan aku di sini.
Ada banyak hal yang berubah pada diriku antara lain kebiasaanku dalam menu se hari - hari. Kalau dulu, lidahku begitu akrab dengan masakan ala Padang dan terutama ala Tapanuli, kini secara perlahan lidahku mulai menyukai kentang, roti, dan segala jenis daging.
Juga dalam hal berpakaian.
Dulu aku begitu cuek dengan segala jenis pakaian; iya celananya juga bajunya. Kecuali jeans dan kaos, jenis lain nyaris tak pernah mampir ke tubuh ini.
Sekarang lain.
Kini, kalau aku ke kantor selalu mengenakan kemeja lengan panjang dan tidak ketinggalan dengan dasi. Sesekali aku mengenakan jas, jika cuaca tampak tidak bersahabat. Udara di LA ini, sangat berbeda dengan Jakarta yang pengab dan panas.

Tak hanya itu, telingaku pun, rasanya makin bersahabat saja dengan segala jenis musik. Kini, setelah pulang kerja, aku langsung memutar kaset, dan mendengar lagu-lagu hit dari Elvis Presley. Sesekali kuselingi dengan lagu-lagu Pop Indonesia, yang kasetnya kubawa dari Jakarta. Lagu seperti melody memory dari Meriam Bellina, dan “Kau bukan dirimu” Dewi Yull, paling sering bergema di ruangan kamarku. Dan bila, hati sedang rindu pada ayah, kuputar lagu Ebiet G.Ade, “Titip rindu buah Ayah.”
Hal yang paling menonjol, adalah setiap pagi hari aku tak lagi lupa berdoa. Rasanya, berdoa di pagi hari, memberikan kesejukan hati. Dulu, hampir 20 tahun lamanya, hal ini tidak lagi pernah kulakukan. Dan sekarang, aku terus berjuang untuk menumbuhkan kebiasaan, agar aku juga bisa sesering mungkin ke gereja; maksudku tentu saja agar setiap minggu, tak lagi kugunakan untuk hal -hal yang tidak berguna. Aku yakin, aku pasti bisa, bukankah seperti dikatakan oleh Khon Fu Chu, katakan : “ I hear I forget, I see I remember, I do I understand?”

Sharon Melia.

Aku makin akrab dengan Hosukawanaulibasa.
Wawasannya yang demikian luas, menimbulkan rasa kagumku kepadanya. Apalagi minat kami berdua dalam banyak hal banyak persamaan. Kami bisa berdiskusi berjam-jam kalau sudah menyangkut komunikasi, budaya, dan hubungan antar manusia. Harus kuakui, tanpa sadar, aku juga banyak belajar dari dia.
Satu hal yang paling kusukai darinya, adalah sifat demokratisnya. Dia tidak segan-segan mengakui kekurangannya, serta mampu memberikan pujian pada saat yang tepat. Kecuali itu, pelajaran paling berharga yang kudapat darinya, ialah sifat dan sikapnya. Meski ia demikian kaya, tapi dia tidak pernah meremehkan orang lain, juga pancaran wajahnya, yang selalu tampak ceria, walau kutahu banyak juga masalah yang hinggap dalam pikirannya. Jadi hampir mirip dengan abangnya Namuraniotoan, yang tidak pernah resah. Dia, bahkan sering menuntunku untuk selalu hidup dalam kondisi seperti yang dia lakukan. Dan satu kali dia berkata, “Nes, ekspresi yang terpancar dari wajah seseorang, akan jauh lebih berharga dibanding pakaian yang dikenakannya.”
“Maksudmu?” Selidikku, ingin tahu lebih lanjut.
“Ya. Seseorang akan tampak bersahaja, atau bersahabat jika roman wajahnya tampak ramah. Dengan keadaan seperti itu, maka orang lain, akan sangat suka bergaul, dan hal tersebut tentu saja akan mendatangkan keberuntungan. Sebab, bukankah kawan adalah asset?”
Aku tersenyum waktu itu.
Dan ketika aku senyum, ia menatapku tajam.
“ Kok, senyum Nes?” Tanyanya.
“ Apa nggak boleh senyum?”
“Boleh. Tapi, senyummu itu, mengundang dan mengandung...”
“ Mengundang dan mengandung apa?” Potongku.
“Apa penjelasanku, keliru?”
“Ah, ndak. Ndak, kok!” Tegasku.
“ Tapi, kok senyummu lain?”
“Lain bagaimana?”
“ Pokoknya lain...!”
Aku tertawa. Terbahak.
“Aku tersenyum, justru karena aku merasa penjelasannya sangat tepat. Bahkan aku sangat meresapinya. Karena aku langsung terbayang kepada keluargaku yang ah, aku yakin, bahwa mereka adalah orang yang baik hati, tapi hari ke hari raut wajah mereka selalu tampak tegang, dahi berkerut pun acapkali cembrut dan sepertinya sulit senyum, terutama adikku si Sondang.” Jelasku.
“Ooo, begitu.” Sambutnya dengan senyum. Tapi, tangannya serta merta mencubitku. Sampai sakit lagi…
“Tapi terus terang saja, aku belum bisa, seratus persen seperti yang kau lakukan.”
“ Masa tidak bisa, sih !”
“Sulit. Tapi kelaku aku pasti bisa!”
“Kau harus coba, Nes, sehingga kau makin komplit di mataku.”Anjurnya
“ Komplit?” Kejarku.
Dia diam.
Menunduk.
Kelihatannya ia grogi.
Aku ingin mengejar, apa maksudnya “Agar komplit di matanya.” Tapi, aku tidak lakukan. Karena seketika, ada perasaan halus dari dalam hati, untuk mendiamkannya. Aku pikir, kalaupun ada perasaan-perasaan tertentu di hatinya tentang diriku, biarlah. Biarlah ia memiliki perasaannya. Aku tidak ingin mengganggu, apalagi kalau hal tersebut menyangkut hal - hal yang abstrak, cinta misalnya.

Sharon Melia.

Minggu terakhir ini, HosuwkawaNaulibasa, makin sering datang ke apartemenku. Ada saja berita baru yang dibawanya; iya tentang kuliahnya, atau tentang Namuraniotoan, atau sekitar keinginan ayahnya, agar dia segera menyelesaikan studinya, dan pulang ke Jepang untuk mengambil alih tugas-tugas ayahnya.
Aku selalu tertarik.
Yang membuatku tertarik, adalah kadar ceriteranya yang selalu baru. Tetapi yang lebih membuatku tertarik, karena semua ceritranya, bila menyangkut keluarganya, selalu disampaikannya dengan kepolosan dan kejujuran.
Satu hal penting ialah keinginannya bila kelak pulang ke Jepang, bahwa seluruh penghasilannya sebagai karyawan di perusahaan ayahnya, akan didermakannya ke panti-panti asuhan yang ada di ASEAN. Menurutnya, warisan dari ayahnya, sampai 7 turunan pun tidak akan habis di makannya. Menurutnya lagi, bahwa keinginan tersebut, juga pencerminan dan keinginan serta ajaran dari ayahnya, “hidup ini, akan menjadi kaya dengan menerima. Tetapi hati ini, akan menjadi kaya dengan memberi.” Dan menurutnya lagi, bahwa “ Memberi adalah termometer untuk mengukur cinta kasih.”
Begitulah Sharon.
Saat ini, kami seperti pinang di belah dua, artinya pertemuan-pertemuan kami, tampaknya sudah menjadi kebutuhan. Dan saya tidak bisa menggambarkan, hubungan seperti apa yang ada antara kami berdua. Kadang aku, bagaikan nelayan kehilangan arah dalam deburan ombak dan hempasan angin. Sebab, kutahu, aku hanya mencintaimu seorang, artinya kau harus yakin, bahwa hubungan kami, adalah hubungan antara dua sahabat. Tak lebih. Apalagi, aku tahu persis, tunangannya Doraemon-iDipabego, selalu setia menyurati dan menelponnya dari Jepang.

Sharon Melia kekasih hati.

Suratmu yang lalu, kubaca habis. Kuulang sampai tiga kali, kalau-kalau ada yang salah. Dan setelah membaca yang ketiga kali, aku baru yakin, bahwa isi surat tersebut sungguh-sungguh. Dan, yang membuatku tidak bisa tidur dengan nyenyak adalah kalimat terakhir dalam surat tersebut. Kau katakan, bahwa kini bola ada di tanganku dan kini aku tinggal memainkannya. Ah…, Aku tahu maksudmu, tapi haruskah aku memainkan bola dan melemparnya?

Sharon sayang...

Betapapun engkau telah menyerahkan bola sepenuhnya ke tanganku, tapi bagaimanakah aku harus melempar atau menggelindingkannya? Sebab kutahu persis, aku bukanlah tipe laki-laki yang senang memanfaatkan kesempatan di tengah peluang yang terbuka lebar. Kukatakan demikian, sudah pasti karena aku tidak ingin menyakiti siapa pun, kecuali harus menerima nasib yang sering kusebutkan sebagai suratan tangan.
Tahukah kau Sharon, bahwa isi suratmu membuatku semakin bingung? Walau harus kuakui di tengah kebingunganku ada guratan indah, karena makin sering terlintas bayangan kebahagiaan bila saja benar-benar kita menikah. Ya, bila kita bisa menikah.
Tapi Sharon, berikanlah kesempatan kepadaku, untuk bisa memahami semua kejadian atau masalah ini, sehingga bila kelak aku sungguh-sungguh memilih untuk pulang dan menikahimu, aku dan engkau tidak berada pada penyesalan, oleh karena pernikahan kita akan menimbulkan kekecewaan pada orang lain; khususnya pada tunanganmu Fahmi.
Jadi, sambil mendalami dan menikmati pekerjaanku sekarang, akan kucoba mengajak dan memberi sedikit logika ke pikiran ini, sehingga secepatnya, akan ada keputusan, apakah aku bisa segera kembali ke Indonesia.

Sharon sayang,

Sampai di sini dulu suratku. Dan dengan kerinduan yang mendalam, karena engkau di sana, aku di sini kusudahi surat ini. Permohonanku sisihkan waktumu menyuratiku. Kutunggu sayang.
Titip salam untuk rekan kerjamu Indri, Darmawan, Rathim, Muha, dan si centil Susiati. Eh, apakah si Johnson yang tukang insiniur itu masih kerja di sana? Salamuntuknya, dan yang terakhir salamku pada sikembar si-Ritna dan si-Ratna.

Salam kecup untukmu.



HA Ximenes)



























S E M B I L A N












MENIKAH DALAM PIKIRAN

(SURAT KE-2 Sharon Melia
Dari Jakarta kepada kekasihnya
HA XIMENES DI LA)












Jakarta, 24 Desember


imenesku.

Kuhitung hari, sejak hari terakhir kita berjumpa, ternyata sudah 240 hari kita berpisah. Sehatkah kau sayang? Semoga saja pikiran dan tubuhmu selalu dalam keadaan segar, sehingga hari-hari yang kau lalui menjadi lebih indah, sehingga pekerjaan dan tugas-tugas yang diberikan pimpinanmu akan kau kerjakan dengan baik dan benar. Apabila itu terjadi, pastilah penghasilanmu...eh gajimu akan cepat naik, dan itu berarti, kau akan bisa menabung dan siapa tahu, kalau kau sudah memiliki cukup tabungan, kau akan mengambil liburan ke Indonesia, sehingga kita bertemu dan bercanda lagi seperti dulu, walau mungkin hanya sejenak.

Ximenesku,

Suratmu dan sebotol parfum dan sepasang lipstict Revlon 03, melalui DHL, sudah sampai kepadaku. Terima kasih sayang. Lipsticknya, hampir tiap hari kupakai. Sedangkan parfumnya, kupakai hanya ke kantor saja. Takut cepat habis. Tetapi, harus kau tahu, bahwa hal tersebut menimbulkan kecemburuan pada teman-temanku. Menurut mereka, harumnya demikian khas, dan lagi pula, mereka tak mungkin membelinya di Indonesia. Maklum saja, sebagian teman-teman di kantor masih berpikir norag. Mereka mengira, bahwa segala sesuatu yang ber-merk luar negeri pasti lebih bergengsi atau berprestise. Tapi biarlah. Seperti katamu, kebahagiaan dan sorga bagi setiap orang sangat berbeda-beda.
Tapi Ximenesku, tahukah kau betapa setelah suratmu aku sulit tidur nyenyak ?
Kedekatanmu dengan HoswakuaNaulibasa seperti yang kau gambarkan, begitu menyiksa dan menimbulkan kecemburuan yang amat dalam bagiku. Kubayangkan gadis itu tersenyum, lalu bermanja-ria denganmu. Betul, mungkin saja kau hanya menganggabnya sebagai kawan atau bahkan sebagai adik, karena abangnya Namuraniotoan menitipkannya kepadamu untuk kau jaga. Tetapi, ini tetapi, bukan tidak mungkin karena setiap hari kalian bertemu, lalu dua hati memadu, atau kusebutkan ini saja seperti yang terjadi pada sebahagian artis film Indonesia, yang menjadi suami - isteri, karena dipertemukan di lokasi yang mereka sebut ini sebagai “Cinta Lokasi”. Banyak contoh. Masih ingat dengan Sophan Sofyan - Widiawati atau Marissa Haque dengan Ikang Fauzi?
Rasanya memang sulit bagiku untuk melarangmu bergaul akrab dengannya. Apalagi seperti katamu bahwa saat ini, kalian nampak seperti pinang dibelah dua, saling mengisi dan saling memahami. Dan perasaanku sepertinya menangkap isyarat, bahwa Hosukawa sangat suka padamu atau kusebut saja dia mencintaimu.
Tapi tidak apalah.
Aku juga harus berpikir rasional. Bahwa di balik kecemburanku ada hal baik yang harus kuterima secara rasional. Sebab, apa jadinya kalau Hosukawa tidak ada di sana. Kutahu, kau butuh perhatian. Perhatian dari seorang gadis, khususnya seorang gadis yang bisa kau ajak berbincang-bincang, terutama yang menyangkut berbagai masalah tentang kehidupan. Dan kalaupun nanti, kau menyambut cintanya, adalah hal yang tidak mungkin kularang. Namun seperti suratku terdahulu, cintaku tak akan pupus oleh air dan tak lekang karena panas. Dan harus kupertegas lagi, aku tidak akan menikah dengan pria manapun kecuali kepadamu sayang...! Ntah sampai kapanpun aku akan setia menunggu, dalam keadaan sendiri, atau pun kau sudah menikah dan punya anak, serta ntah kau jadikan isteri keberapapun aku. Ini janjiku dan takkan ku-ingkari, karena cinta yang ada di hati ini adalah cinta yang tulus : “Never die, and never go.” Saya tahu, dan saya ingin cinta yang ada ini abadi, dan mencapai keabadian, sepanjang hayat di kandung badan.

Ximenesku.

Senin yang lalu, mamaku tiba di Jakarta naik bis Palanza ( dahulu PMH). Aku begitu gembira. Kau tahu, betapa hubunganku dengan Mama layaknya kakak - adik. Kepadanya aku tidak pernah punya rahasia, termasuk dalam hal cinta dan jodoh. Seperti pernah kukatakan padamu, bahwa dulu, bahkan mamaku yang kumintai tolong untuk membalas surat cinta kepada pacar pertamaku.
Hari pertama Mama di Jakarta, semua masih berjalan biasa. Kami tertawa-ria, bernostalgia, termasuk ketika Mama pacaran dengan Papa.
Aku juga, tanpa sedikit pun merasa canggung atau malu, kuceritakan segala sesuatu yang menyangkut diriku. Bagian terakhir, dari ceriteraku, adalah sekitar hubunganku denganmu dan kukatakan betapa aku mencintaimu. Saat itu, mama tak menunjukkan reaksi apa-apa, kecuali senyum dan tertawa, bahkan dia masih berkata, persis seperti katamu, bahwa menurutnya, “Cinta hanya ada dalam buku dan syair, dan cinta adalah misteri.”
Hari kedua, masih berjalan seperti biasa.
Bahkan Mama masih memintaku untuk mengantarkannya berekreasi ke Sea World, Taman Mini, Monas, dan malamnya makan di Laponi Tondongta. Rasanya, semua biasa saja, dan seolah-olah tidak ada tak terjadi apa-apa. Tapi, tahukah kau setelah itu?
Matahari belum lagi tampak di langit. Ketika dengan sapaan manis Mama memanggilku agar mendekat kepadanya. Aku tidak berpraduga apa pun. Dulu ketika di kampung pun ia sering melakukannya, kalau ada sesuatu yang ingin disampaikannya. Sama sekali, kalau pagi itu, menjadi saat aku harus membantah Mama dengan berani menolak apa yang menjadi keinginannya. Suatu hal yang belum pernah aku lakukan. Sebab, biasanya aku juga sama seperti engkau, selalu ingin memberi yang terbaik kepada orang tua, dan lebih daripada itu, aku ingin selama hidupnya Mama senantiasa berada dalam suka-cita, maksudku, jangan lagi Mama mengalami kesusahan di masa tuanya, terutama yang menyangkut aku.
“Sharon, minggu lalu, tunanganmu datang ke rumah.” Begitu Mama memulai.
“ Ah, Mama ini ada - ada saja. Kok, dia datang. Dia kan kerja, Ma!” Kataku sambil sedikit bermanja dan mencoba menutupi, bahwa antara aku dan Fahmi seolah-olah masih akrab.
“Aku serius, nak! Dia datang Sabtu kemarin. Dan Minggu siang dia kembali ke Jakarta. Dia bilang setiap Sabtu di off. Dia menumpahkan segala uneg-unegnya yang menyangkut hubunganmu dengan nya. Katanya, bahwa kau tidak lagi peduli dengannya. Bahkan menerima teleponnya saja kau sudah tak sudi. Apa benar?”
Aku diam membisu.
Agak lama.
Kerongkonganku seakan kering. Aku tak tahu harus menjawab apa. Aku ingin mengatakan ya, tetapi sangat khawatir kalau-kalau hal tersebut menyinggung perasaan Mama. Dan kalau kukatakan tidak, aku tidak ingin berbohong. Kau telah mengajarkan kepadaku tentang kaedah untuk tidak berbohong. Menurutmu, kalau karena kita jujur kemudian menjadi sulit, yah apa boleh buat.

Ximenes hasian,

Saat itu pikiranku betul-betul kusut. Ingin saja aku berlari dan berlari menujumu, untuk mencari kekuatan agar dapat menjawabnya. Karena kutahu, seperti pengalamanku semasa “akrab” denganmu, segala persoalan engkau selalu bisa menyelesaikan seketika. Dirimu super kreatif dalam mencari jawaban terhadap persoalan serumit apapun.

Ximenesku.

Percaya atau tidak, dalam ketidak berdayaan menghadapi pertanyaan Mama, dengan segala upaya, aku mencoba menghadirkan baying-bayang dan wujudmu di pelupuk mataku. Dan memang aku berhasil serta mendapat inspirasi untuk segera menjawab.
Tapi sebelum itu kulakukan, kupandangi raut wajah Mama yang serius menunggu jawaban dari bibirku.
Aku senyum.
Kupeluk Mama dan mengecup pipinya. Kelakuan yang sangat disukai M dariku.
“Mama masih sayang aku kan?” Bisikku ke telinganya.
Mama menatapku tajam.
Kulihat di balik kelopak matanya masih tersimpan kasih sayang yang teramat dalam seperti dulu. Ya, seperti dulu ketika aku masih kanak-kanak, atau remaja, saat-saat di mana aku belum terlibat dan mengerti masalah, termasuk masalah cinta.
“Pertanyaanmu aneh Sharon! Apakah pernah ada saat - saat aku tidak sayang kamu?” Mamaku balik bertanya. Pertanyaan yang kuyakini sangat memojokkanku.
“Maafkan Sharon, Ma! Aku tahu Mama sangat menyayangiku. Karena itulah Ma, aku takut untuk menjawab. Aku khawatir kalau-kalau Mama akan marah lalu menjadi tak sayang lagi padaku.”
“Sharon, apa pun jawabanmu, kau tetap anakku. Sekali lagi anakku. Aku tidak mungkin lebih percaya kepada orang lain daripada engkau. Kebahagiaanmu adalah tujuan hidupku. Mama akan lebih berarti kalau kau bahagia. Soal perasaan Mama, biarkan saya sendiri yang merasakannya. Kalaupun ada pertanyaanku tentangl hubunganmu dengan Fahmi, saya pikir itu wajar. Artinya, sebagai Mamamu perlu tahu lebih dalam, sejauh mana perkembangan hubungan kalian. Sebab, menurut Fahmi hubungan kalian seperti tidak mungkin lagi dipersatukan. Padahal seluruh keluarganya sangat ingin agar kau menjadi isterinya. Nah, persoalannya supaya jelas dan Mama ini tidak kebingungan, baiknya kau jelaskan, sebenarnya apa yang terjadi.”
Aku diam sesaat.
Kutarik nafas dalam-dalam, untuk memompa semangat dan keberanianku. Kemudian kembali kubayangkan wajahmu. Tampak kau melintas dan tersenyum. Ah indahnya bibirmu. Kelopak matamu seakan menggodaku. Kilas lain, kau tampak dengan kacamata hitammu. Dan seperti kebiasaanmu, kau mengumbar senyum. Senyum yang membuatku tergoda. Bukan hanya tergoda, tapi jatuh cinta. Ah Ximenes, kau memang penggoda. Tapi godaanmu, selain menyenangkan, juga membuat mimpi-mimpiku indah.
“Ma…, landasan apa yang Mama pegang saat menikah dengan papa?” Selidikku.
Kulihat Mama senyum.
“Dulu, waktu aku bertemu Papamu, terus terang saja, keluargaku, terutama kakekmu, paling benci kalau papamu datang ke rumahnya. Tapi, di matanya kulihat bahwa laki-laki itu, meski tidak tampan dan juga tak kaya, aku menemukan semangat juang yang tinggi. Selain itu ada desis-desis halus di ambang sadarku menyatakan, laki-laki itu bisa menjadi pelindung sekaligus mampu memberi kebahagiaan padaku. Itu saja. Tak ada cinta. Lagi pula, aku tak mengerti apa itu cinta.”
“Jadi masalahnya di situ, Ma! Aku tidak menemukan sesuatu di balik matanya. Fahmi hadir di sampingku, kecuali dengan harta, kepandaian dan jabatannya, aku tidak menangkap apa-apa. Lalu, kubayangkan bahwa masa depan dengannya, bukan kebahagiaan. Tapi yang ada adalah bayangan kekecewaan yang tampak, dan kendati belum terjadi tapi seolah-olah itu pasti. Padahal menurut Mama, bahwa dulu, landasan mama mau menerima papa, karena di balik matanya, terbersit suatu harapan. Dan harapan itu adalah kebahagiaan. Aku mengira ini lebih penting daripada sejumlah mobil, deposito, rumah atau jabatan apa pun. Begitu khan, Ma?”
“Tapi Fahmi sangat mencintaimu. Dan, menurut pengakuannya, dia bekerja keras adalah untuk masa depan kalian. Katanya lagi, segala yang dikerjakannya diperuntukkan untuk kesenangan serta kebahagiaanmu apabila kau menjadi isterinya.”
“Itulah, Ma. Fahmi itu memang pandai. Tapi sekaligus picik. Di otaknya, hanya ada hitung-hitungan secara Eksat. Latar belakangnyalah yang membuat dia demikian. Karena baginya, satu + satu = 2. Atau 3 x 3 = 9. Dia lebih mengutamakan rasio, dan mengabaikan perasaan. Menurutnya kalau punya rumah dengan segalanya isinya ditambah dengan mobil dan banyak uang di bank, otomatis manusia akan berbahagia. Dia tidak tahu, bahwa kebahagiaan pada seseorang adalah ‘sesuatu apa yang membuat dia berbahagia.’ Memang ini sedikit filosofis. Dan menurutku, mereka yang menganggap kebahagiaan itu adalah harta dan jabatan, sama atau identik dengan kesombongan. Dan kupikir itulah si Fahmi.”
“Sharon, kau tidak boleh berpraduga begitu pada Fahmi.”
“Bukan praduga, Ma. Tetapi ini fakta. Dan aku sudah bosan menghadapi manusia-manusia seperti itu.”
“Apakah karena sikapnya, lalu kau menolak lamarannya?”
“Salah satunya karena itu.”
“Misalkan dia mau mengubahnya?” Selidik mamaku penuh arif.
“Sulit, Ma! Itu sudah menjadi tabiatnya. Sikapnya makin menjadi-jadi, setelah dia terpilih menjadi orang nomor satu di perusahaannya.”
“Maksudmu?”
“Dengan jabatannya, serta–merta dia berpikir bahwa aku akan mengikuti kemauannya. Dia terlalu yakin kalau semua syarat-syarat duniawi sudah dipenuhi dan dimilikinya, aku akan lengket padanya. Sorry-sorry saja.”
“Itu khan hanya perasaanmu. Dia kan tidak berkata begitu.”
“Ma, aku tahu persis siapa dia. Sulit sekali untuk mengubah sifatnya.”
“Lalu, bagaimana saya harus menghadapi keluarganya, yang konon sangat berharap kau menjadi isteri Fahmi. Apalagi Mama ini sangat ingin, agar kau cepat-cepat menikah, dan jika mungkin masih sempat menimang cucu darimu, sebelum saya dipanggil Sang khalik.”
Seketika aku menangis Ximenes, saat Mama menyatakan bahwa dia sangat ingin agar aku cepat menikah. Apalagi dia sebut-sebut meminang cucu.
Kupeluk mama. Erat sekali.
Kucium keningnya.Pipinya juga.
Lalu ke telinganya kubisikkan kata-kata, mirip ketika kau membisikkan kata-kata cinta, saat kita menghirup angin laut di pantai Melia. Oho....
“Ma..., Aku tahu, aku telah mengecewakanmu. Tetapi Mama akan lebih kecewa lagi, kalau aku menikah dengannya, dan lalu tidak bahagia. Ma, aku hanya mau menikah dengan Ximenes, kapan dan dalam keadaan apapun dia. Aku menunggunya, karena hanya membayangkan wajah dan perilakunya saja, aku sudah cukup berbahagia.”
“Sampai kapan kau menunggunya, Nak! Usiamu kini sudah hampir 26 tahun.”
“Usia tidak menghalangi orang untuk menikah, Ma. Bahkan jikapun secara badani aku tidak menikah dengannya, biarlah kami hanya menikah dalam pikiran.”
“Ngawur kamu Sharon. Rasionallah sedikit. Aku tidak mau berantah pendapatmu denganmu. Kau pasti sudah lebih pintar daripada Mama. Tetapi apa yang baru saja kau sebut, ’menikah dalam pikiran’ sungguh-sungguh belum dapat kuterima. Pikirkan itu. Kalau memang Ximenes adalah laki-laki yang menjadi pujaanmu, surati dia, dan katakan dengan jelas semua permasalahan ini. Perihal keluarga Fahmi, biarlah si Marudut yang memberi jawaban, bahwa kau sungguh-sungguh tidak mau menikah dengannya. Artinya supaya keluarga Fahmi dapat mencari wanita lain. Artinya Mama tidak akan memaksamu untuk menerima lamaran keluarga Fahmi.
Kembali kupeluk mama.
Aku terharu begitu dalam akan jawaban dan pengertiannya padaku.
Mama lalu mengusap dan membelai rambutku, dan berujar dengan nada hangat, “Untuk kebahagiaanmu anakku, aku akan berdoa khusus nanti malam, meminta kepada Tuhan, agar tubuhmu dibalut dengan cinta kasihnya, dan mengiring pikiranmu agar tetap jernih dalam menghadapi masalahmu….”
“ Terima kasih, Ma. Tapi jangan lupa juga berdoa untuk Ximenes, agar dia tidak lupa terhadapku. Jangan lupa iya, Ma!”
Mama mengangguk, sambil tersenyum indah yang membuat hatiku teduh.
Aku pun tersenyum. Dan kamipun akhirnya sama-sama tersenyum. Yah senyum seperti dulu. Lepas tanpa beban.
Jadi Ximenesku, aku yakin kini, bahwa aku dilahirkan dan ditakdirkan untukmu, kendati dirimu jauh disana, tapi engkau ada di setiap tarikan nafasku. Berbahagialah sayang…take care yourself, salamku untuk Uli, yang ah, betapa dada ini bergemuruh setiap kali menyebut namanya. Tapi…, apa dayaku hasian…?



Horas. Gbu.

Sharonmu
***
S E P U L U H






k

No comments: