Monday, July 31, 2006

Jumaga Naibaho: Berani Tapi Jangan Memberanikan Diri




Memang sudah tidak muda lagi kalau dilihat dari usiamu yang sudah 46 tahun, karena engkau lahir, 14 Febuari 1960. Sudah 46 tahun. Tapi bagi Naibaho yang di Jakarta, untuk terjun di paradaton, dan menjadi Raja Parhata tentu masih tergolong belia, karena Raja Parhata yang lain, sudah diatas 50 dan mereka itu hehehe…

Engkau bilang, bahwa dirimu tidak pernah bercita-cita untuk jadi Raja Parhata. Namun sejak kecil sangat suka mendengar akka Omputta marnonang. Dan engkau pun memiliki kemauan untuk menggunakan nasehat Ompungta : “Tinggil manangi-nangi, bakkol manghatahon”. Maka kalau dari bibirmu mengalir pas segala hal, apakah itu Umpama atau Umpasa, saat kau memandu paradaton di Raja Naibaho, tentu bukan begitu saja turun dari langit. Tapi upayamu sejak kecil, berbuah bagus kini bagi Raja Naibaho. Sebab kalau tidak, wadooo…kaderisasi di Raja Naibaho ini, tentu mandek.

Pengakuanmu bahwa jadi Raja Parhata itu sebenarnya tidak sulit. Ada kesempatan dan kita berani. Itu saja… Dan lalu, kau pun mengurai perbedaaan antara berani dan memberanikan diri. Berani kau sebut sebagai sangat positif, tetapi memberanikan diri adalah negatif. Dan soal ini, engkau akan paparkan ke calon-calon Raja Parhata Nabaho yang kurang lebih sebaya dengan kau.

Jadi, Jumaga Naibaho berbahagialah, karena ito-itomu, manang parboruonta banyak yang bangga padamu. Dan karena itu, Tionggun Gultom 44, mantan TTMmu selama 4 tahun, Ibunya Novalina 18 tahun yang kini duduk di kelas 3 SMA, Chandara Irawan 16 kelas 2 SMA, Nasib Hiskia Kevin 9 tahun, sebaiknya mendukungmu. Bukan apa-apa, banyak orang yang mengatakan, kesuksesan seorang pria, ada wanita anggun di belakangnnya. Jadi…?

Kendati banyak konsep yang ingin kau akan sampaikan dalam Naibaho, agar paradaton itu tidak monoton, namun engkau yakini yang berjalan saat ini masih cukup baik. Soal ada yang kurang lebih itu hal biasa. Dan pembicaraan pun kau tutup dengan mengutip sebuah umpama :

“Pauk-pauk hudali,
Arit-arit tarugi.
Nadenggan taulahi,
Nasala tapauli.”

Memang bah! Horas jala gabe.

Wednesday, July 26, 2006

Hutessa

Sai pinatulus, dang tulus.
Pinabengkok tong so bengkok.
Is sotulus di gora halak.
Hape molo patulus hupe didok halak do na oto. Ah, tahe!

Opputta mandok :

"Ijuk dipara-para
hotang di parlabian,
na bisuk naumboto hata
na oto tu pargadisan".

Sungkun-sungkun : " Molo na bisuk dohot na oto rap ro tu paradaton, ise do na mararga?"

Sunday, July 23, 2006

Inmemoriam Henneria Sitanggang gelar Ompung Romasty Boru


Kusiapkan Kebun Buah yang Rimbun

Dua belas bulan,
Atawa tigaratus enam puluh lima hari jasad ini berbaring, dan menyatu dengan tanah...
Bola mataku,
Telingaku,
Lidahku,
Dan seluruh dagingku kini telah membusuk dan menjadi satu dengan tanah,
Tinggal tulang yang berserakan, yang kelak juga akan menyatu dengan bumi.

Tapi...
Jiwaku, yang kini menjadi roh, dengan jelas memandang dan merasakan kebersamaan kalian yang mewujudkan kenyamanan dan kesatuan jiwa dalam mengenangku di keabadian...

Dari sini aku tersenyum,
Karena ternyata, kalian masih...
...mengingatku
...merindukanku,
dan
...masih merasakan kehangatan dekapanku saat aku bersama kalian.

Usah memandangi t’rus rumah tempat jasadku bersemayam...
Jangan pula menyia-nyiakan air matamu di sini,
Atawa menyesali, tentang apa yang belum pernah engkau ujudkan semasa hidupku padaku. Jangan...

Kalian semua adalah belahan tubuh, jiwa dan kini menjadi rohku.
Aku kini bahagia bersama pencipta-Ku,
...menjadi pelayan-Nya,
...menjadi malaikat-Nya,
dan kini...
aku sedang membangun
... jalan-jalan yang indah,
...kebun-kebun buah yang rimbun,
juga pancuran dan telaga air yang bening,
yang nantinya menjadi miliki kalian,
milik kita...
dan semua itu kusiapkan hingga kalian datang dan kita bersama lagi...
seperti dulu...yah, seperti dulu lagi.
***

Fashion Show Boru Naibaho


Boru Naibaho ternyata tidak hanya bisa muruk atau mamuruki. Bergaya juga oke. Ajang pun tidak harus di Paris atau Rio De Jainero hutanya si Ronaldinho, taman di Puncak sana pun cukup untuk menampilkan gaya. Wooo. Betapa bahagianyalah Amanta soripada, dan hehehe, sesekali bergaya dong tanpa kaca mata...

Friday, July 21, 2006

Enjoy Your Life


Dari ada menjadi tiada dan menuju ketiadaan. Sepiring mi gomak ditambah segelas teh manis di pagi hari bila disyukuri akan terasa nikmat. Kata si Bottar mata, enjoy your life. Orang yang paling miskin meninggal, tidak membawa apa-apa. Juga yang terkaya di dunia pergi ke haribaan-Nya, juga tidak dengan tangan kosong. Jadi untuk apa harus pusing dan memusingkan yang tidak ada dan yang ada?

Thursday, July 20, 2006

Togarma : Seni Untuk Seni Atau...?


Mengukir Prestasi lewat Seni

Pengabdian dan membuat harum marga tentu tidak hanya dari satu jalan. Jadi ilmuwan, oke. Jadi pengusaha sukses, sah. Jadi olahragawan, yes! Dan Togarma Naibaho, kelahiran Pangururan, yang masih suka ombus-ombus, mi gomak, palia, jengkol, ikan asin, dan segala jenis makanan khas Pangururan telah memperkenalkan marga Naibaho sejajar dengan seniman dari marga maupun suku lain. Tidak hanya itu, karyanya telah bisa dinikmati oleh masyarakat manca Negara, lewat suling, ukiran dan yang terkini dia telah menciptakan suling dari pipa paralon. Hebat nggak?

Pasti. Karena pria yang ke mana-mana masih membawa alat musik kecapi kecil ini tidak pernah berhenti mencipta, baik karena inovasi, maupun sungguh-sungguh orisinil hasil ciptaannya.

Masih ingat acara Horas di Indosiar yang tayang beberapa tahun yang lalu? Nah, dia ini salah satu kontributor acara, dan seperti yang anda saksikan sendiri, betapa marga Naibaho bangga akan dia. Maka majulah trus Togarma…Kalau sampai sekarang ini banyak karyamu yang terpaksa belum bisa beredar karena tidak ada pemasar yang handal, sabarlah.
“Hatop adong ni aduna, leleng adong pinaittena.”
( Jadi antong, hita marga Naibaho na adong di luat portibion, tapasarhon ma karya na i, asa diboto jolma na asing, marga Naibaho i, ba dang metmet hape!)

Wednesday, July 19, 2006

Ader Naibaho : Jatuh Cinta sama Bajaj


Suka Banget menonton Bajaj Bajuri

Sang Kapolri, Sutanto, boleh saja dia menolak namanya dipanjangkan menjadi SUmatera TANpa Togel, dan membasmi habis istilah bento di seluruh benak orang Batak. Tetapi, adakah yang bisa menghambat rumus seorang Ader, untuk membeli bajaj dari pertarungan di meja bundar untuk menentukan siapa di jagad DKI menjadi penyandang gelar ahli bento?

Delapan minggu kali tiga jete sama dengan 24 jete, dan itu berarti sama dengan harga sebuah bajaj. Jadi jangan lalu terheran-heran jika di garasinya bertengger si merah, dan lalu menuduhnya hasil dari hehehe sebagai pegawai Departemen Keuangan. Ndaklah yauuu…

Maka meranalah kau pria kelahiran Tanjung Bunga akibat ulahnya si Sutanto, karena kecuali tak dapat hepeng dari bento lagi, cita rasa RW ibu Menado pun lenyap dari lidahmu yang memang sangat doyan RW…guk…gukguk.

Oiya, kendati usiamu sudah di atas 50, gayamu masih seperti ABG. Dan hehehe… nomor piga tahe nomor hanphone ni si Diah Pitaloka. Ai, hubege songon na lomo roham manonton Bajaj Bajuri. Unang da…Tapi, gini lho, usah hitung-hitungan mar sms dengan sesama saudara. Soalnya sudah lama banget ente tak meng sms saudara-saudara kita. Nasian bondar i do tu galung i. Baenma, marsiattusan do hita. Istilah Victor Itorosky, “ Bisakah Berbuat Jahat untuk Tujuan Baik?” Hayaa...
Ah, nantilah hal itu kita diskuksikan, karena hanya orang dewasa yang pantas mendiskusikannya. Jadi, kapan kita seminarkan hal itu?

Tuesday, July 18, 2006

Ketua Umum Raja Naibaho : Jayalah Naibaho


“Tidak seorang pun janin yang ada dalam kandungan bisa merencanakan dia kelak jadi apa, bila sudsah menjadi manusia” ujarmu tegas.

Roman wajahmu tampak garang, tapi hatimu demikian lembut, selembut salju di pegunungan Himalaya, manakala diskusi sudah menyangkut kehidupan, dan terutama jika menyangkut marga Naibaho di Jabodetabek, yang engkau kini jadi Ketua Umumnya.

Pantas saja, Sulastri Boru Gultom yang lahir 17 Mei 1958 dan engkau persunting 26 tahun yang lalu, selalu setia mendampingimu, kemanapun kakimu melangkah, tanpa merasa lelah apalagi terbeban. “ Hidup adalah sebuah ceritera. Dan jika saya kini menjadi Ketua Umum Raja Naibaho se-Jabodetabek, adalah sebuah ceritera yang tepatnya menjadi sebuah sejarah kelak dalam perjalanan kehidupan Raja Naibaho,” jelasmu ke Panuturi, menjelang senja di Jl.Barkah No.49.

Lalu, betapapun pergulatan memperjuangkan kehidupan antara getir dan sukacita, telah berbuah indah. Buktinya, anak sulungmu Manuntun Parsaoran Naibaho bisa menimba ilmu di Selandia Baru. Adiknya Jahones tak kalah gesitnya mengupas segala macam hukum di Universitas Trisakti. Dan harapanmu ke si bungsu, Sarah boru Naibaho, sebentar lagi akan terwujud, karena kini dia amat asyik menekuni sekolahnya di SMA Negeri 6.

“Bangkitlah Naibaho,” cetusmu. Karena dalam hatimu yang paling dalam, sangat ingin melihat marga Naibaho sejajar bahkan jika mungkin melebihi marga lain yang lebih dulu telah maju. “Tak ada yang mustahil, jika kita berupaya,” tambahmu.

Obsesimu kini, meski usiamu sudah 51 tahun, karena engkau lahir 5 Juni 1955, adalah membuat bagunan adat-istiadat sesuai zaman. “Banyak yang harus diupdate, agar bisa mengikuti zaman,” tegasmu. Karena itulah, sebagai Ketua Umum, engkau tidak ragu-ragu untuk memberi kesempatan keapda setiap insan Naibaho yang berpotensi untuk jadi Raja Parhata. “Jayalah Naibaho,” ujarmu menutup uraianmu…

Monday, July 17, 2006

Sinur Boru Naibaho : Wanita Ruaar Biasa


Menabur Kebaikan, Menuai Berkat

Ruaar biasa….Barangkali itulah kalimat yang tepat ditujukan kepada wanita kelahiran Pangururan 55 tahun yang lalu ini.

Anda bisa membayangkan betapa repot dan beratnya memikul tanggungjawab untuk merawat dan membesarkan 15 adik, yang terdiri dari 8 pria dan 7 wanita. Tapi ini fakta, yang kendati harus berhenti sekolah untuk membantu Ibunya tercinta Henneria Sitanggang dan ayahnya Pintar Naibaho, tak membuatnya minder, atau frustasi.

Pikirannya sangat sederhana, bekerja dan bekerja. Dan hasilnya memang tidak berbentuk materi, tapi dia kini selalu didekap kebahagiaan bersama suami tercinta bersama putera-puterinya. Tidak hanya itu, seperti tertulis dalam pepatah, “ Siapa menabur kebaikan akan menuai berkat…” Dan itulah yang didapatkannya dari adik-adiknya, yang kecuali patuh, selalu sangat siap untuk membuatnya gembira. Maka baginya hilir-mudik pulang kampung untuk menjenguk tanah kelahiran, meski tidak harus naik pesawat Boeing, tapi melintas melalui ganasnya ombak di Lautan Hindia, bukan masalah baginya. Tinggal hubungkan ibu jari dengan jari tengah, tek…tek, maka hehehe, tiket pun datang langsung ke rumahnya yang cukup luas, meski…hmm, jarang di cat.***

Sunday, July 16, 2006

Introspeksi : Senyum Bertabur Bohong

Senyum bertabur Bohong

Oleh : Laris Naibaho

Jantungku berdetak keras, ketika handphoneku bunyi. Kendatibunyinya sudah kuset dengan Kuch Kuch Hota He, tapi tetap saja tak mampu meredam kegalauan pikiran, atau mungkin Lebih tepatnya tak mampu mengusik ketakutanku. Ketakutanku mungkin bagi orang lain
bukanlah suatu masalah. Bahkan mungkin soaL sepele. Tapi setiap kali terjadi seperti itu, aku gelisah dan jantungku ndak tenang, alias kebat­kebit.

Apa pasal? Saat itu, jam menunjukkan pukul 14.25. Saya masih ada di kantor melayani seorang tamu, yang meski sudah berbagai macam isyarat saya buat Ia tak juga beranjak pergi. Padahal rapat yang seharusnya kuhadiri di sebuah Hotel di bilangan Slipi, dimulai pukul 14.00.
Bunyi hp panggil pertama, sengaja tak kuangkat. Kupikir tamunya mengerti untuk menyilakanku menerima tetepon tersebut. Ternyata dia diam saja. Akhirnya dering panggiLan kedua kuterima, dan langsung kujawab, "Halo, sorry rapatnya dimulai saja.
Macet total, nih. Aku sudah diperempatan. Mobil hampir tak bergerak. Aku pasti datang." Dadaku sesak. Sesak sekali. Kusebutkan aku sudah dekat, padahal aku masih di kantor. Tapi mau apa lagi? Kulihat tamuku mengernyitkan dahi. "Ada rapat?" Aku mengangguk. Aku bergegas ke Luar dan menyetop taxi di jalan, tanpa melihat merknya lagi. Pikiranku fokus ke arena rapat. Saya tidak ingin mengecewakan teman­teman. Jam menunjuk 14.31. Jadi sudah 31 menit saya terlambat.

Taxi melaju. Hp berbunyi lagi, yang Langsung kejawab, "Sungguh mati, macet total nih, dan taxi ndak bisa bergerak. Tapi aku pasti datang. Nih, biar percaya, supir taxi mau ngomong..." Kusodorkan hp ku ke sopir taxi, sambil mengedipkan mata. Dan tampaknya dia mengerti. Sang sopir taxi pun berkata, "Ya, Pak. Macet total di sini, sudah hampir lebih setengah jam macetnya." Sopir taxinya tersenyum sambil mengembalikan hpku.

"Udah biasa kok Om. Saya sering ngebantuin penumpang untuk hal seperti itu. Pikir pikir ndak ada ruginya. Emangsih, sedikit bohong, tapi sekedar menyenangkan penumpang aja, ndak apa-­apa khan, Om?" Aku diam. Sungguh-sungguh diam.
***
Dengan sedikit membungkukkan badan, aku memasuki ruang rapat sambil senyum malu-malu. Aku berharap para peserta tidak terlalu memperhatikan kehadiranku yang sangat terlambat. Dan memang sudah sangat terlambat, karena ternyata, begitu aku menjejakkan kaki di ruang rapat, jam menunjuk pukul 15.30 yang berarti rapat telah berjalan satu setengah jam, dan dalam waktu beberapa detik kemudian, pimpinan rapat mengetuk palu, pertanda rapat usai.
***
Teman mengerubung. Dan kekecewaan tampak dari rawut wajah mereka. Bisa dimaklumi, karena konon, suasana rapat menjadi monoton, kurang gairah dan nyaris monolog. Demokrasi menjadi tumpul, karena feodalisme dan arogansi pengambilan keputusan mencuat muncul kembali. Maklum, kendati peserta rapat umumnya mengaku sangat anti feodalisme, tetapi realitasnya adalah sebaliknya. Tetap saja pimpinan rapat, dan kelompok tertentu yang menguasai jalannya rapat dari awal hingga pada pengambilan keputusan.

"Mengapa terlambat,Bung?" Tanya seorang teman yang selama ini selalu menjadi pendukungku.

"Aku sudah berangkat pukul 13.30. Dengan harapan bisa sampai di sini semenit sebelum rapat dimulai" jawabku lancar, kendati nafasku tak lagi beraturan. Jawaban ini, sudah kurancang di dalam taxi, karena saya yakin, akan ada pertanyaan seperti itu. Saya menyadari, harus merancancang satu jawaban yang berisi kebohongan untuk menutupi kebohongan yang lain. Ini memang hukum dasar dari sebuah kebohongan.

"Kok, teLatnya sampai kebabalasan?" sambung teman yang lain, dengan nada menyindir.

"ItuLah yang terjadi. Di prapatan lampu merah itu, ada truk mogok. Polisi tidak ada. Dan dari arah Timur, ada metro-mini yang menyalip dan menambrak angkot. Sudah begitu lampu lalulintas mati," paparku.

Tampaknya apa yang kusampaikan dapat dimaklumi oleh teman teman, karena semua kusampaikan dengan lancar. Tentu saja, karena rancang bangun kebohongan itu telah saya siapkan di dalam taxi yang membawaku.

Selama perjalanan pulang di mobil teman yang kutumpangi, aku merenung sambil termenung. Aku mencoba masuk ke lubuk hati yang paling datam, "Haruskah aku berbohong dan berbohong hanya untuk persoalan seperti itu?"

Lalu, mengapa pula aku harus melibatkan orang lain yaitu si supir taxi untuk berbohong hanya agar aku tetap diakui keberadaannya sebagai oranq yang benar oleh teman-temanku? Ah. Tapi, mau apa lagi? TerLanjur sudah... Lebih baik aku bersiul..

(Kau yang terindah, di dalam hidup ini... kusembah Kau Tuhan lebih dari segalanya, besar kuasa-Mu...)

Ropinus Naibaho : Ada Yang Datang Dan Pergi


Ropinus Naibaho, gelar amani Bangkit Naibaho

Ada Yang datang dan ada yang pergi. Yang masih hijau akan tumbuh dan berbunga. Sementara yang tua akan keriput dan akhirnya membusuk dan menyatu dengan tanah.
Jadi tidak ada yang abadi, kecuali keabadian itu sendiri. Dan jauh sebelum hari ini, Opputta sijo-jolo tubu sampai-sampai mendisain rumah bolon, atapnya yang di belakang lebih tinggi daripada atap depan. Konon dimaksudkan agar generasi penerus jauh lebih kuat, lebih cerdas dan lebih bijaksana dari pendahulunya… Maka, kelelahanmu dalam menjalankan amanat di Raja Naibaho, kendati tidak sempurna, karena memang tidak akan ada yang bisa berbuat sempurna di paradaton…Tersenyumlah. Usah ragu dan terus memaparkan yang engkau tahu, karena seperti kata mother Theresa,
Yang engkau tahu, saya tidak tahu, yang
aku tahu,
belum tentu kau tahu, tapi bersama kita bisa melakukan hal yang
besar…”
Jadi, mari dan terus berkarya…

Monday, July 10, 2006

Tugu Raja Naibaho di Pangururan


Di Pangururan tading rohakku...

Dao mansai dao pe dalan hudalani,
alai hatubuakki dang lupa au...

Ale hamu akka pangaranto,
mulak ma hamu nanggo apa satokkin,
di si berengonmu Tugu Raja Naibaho
Na mansai uli...

Ta pature na sega, tapauli akka na sega,
asa lam patar tu sandok portibion pomparan ni Raja Naibaho i, na sai "marsiamin-aminan dohot sai marsitukkol-tukkolan."

Sunday, July 09, 2006

Robert Naibaho : Pulang Kampung setelah pensiun

Pulang Kampung setelah pensiun

Ketika setiap orang mulai berlomba mengejar jabatan, dan ketika penghargaan manusia atas manusia mulai bergeser, dan ketika para birokrat negeri ini mulai limbung menghadapi berbagai persoalan yang carut marut, ketika itu pula pria kelahiran Pangururan, yang menyelesaikan tukang insiniurnya di Universitas Sriwijaya Palembang ini, mengatakan, hanya mereka yang pernah merasa cukuplah yang bisa merasakan nikmatnya kehidupan. “Saya tidak lalu harus melacurkan harga diri hanya untuk mengejar jabatan dan kekayaan. Untuk apa? Karena ibarat minum air laut, semakin kita minum, kita akan semakin kehausan. Maka tidak ada gunanya. Kalau demikian halnya, untuk apa harus menimbun kekayaan, jika yang ada pun sudah cukup atau jangan-jangan lebih?” ujarnya dengan sorot matanya yang tajam.

“Bos saya selalu merasa heran melihat saya, karena tidak pernah ambisi untuk mendapatkan ini-itu. Tetapi saya selalu ingin menuntaskan dengan baik, pekerjaan apa pun yang dibebankan kepada saya. Menyelesaikan tugas dengan penuh tanggungjawab adalah ibadah…!” katanya tanpa ragu. Dan memang pria yang menyelesaikan S2 nya di Universitas Indonesia ini, tidak pernah ragu-ragu mengemukakan pendapatnya, sebagaimana dia tidak ragu, akan pulang kampung ke Pangururan, kalau sudah pensiun nanti. “Siapa lagi yang peduli Pangururan, kalau bukan kita-kita?” ujarnya dengan mata menerawang ke langit-langit. Barangkali saja, di benaknya terekam program pembangunan toilet alias WC di Labuan Pangururan yang tidak pernah tuntas…(Bahamai komandan..?)

Togar Dolly Naibaho : Kesempurnaan Manusia Terletak pada Kekurangannya


Togar Dolly Naibaho : Kesempurnaan Manusia Terletak pada Kekurangannya

"Kesempurnaan manusia terletak pada kekurangannya," katamu menjelaskan. Dan ketika banyak yang mulai memahami apa yang kau sampaikan, dirimu berceritera tentang masa lampau, yang manis dan kelam. Tak ada rasa sungkan apalagi takut untuk dicerca, karena iya itu tadi, engkau bersemboyan, lebih baik bekas penjahat daripada bekas pendeta. Haha ha. Benar juga, sih!

Orang awam mungkin tak lalu memahami. Tetapi ketika tahu siapa dirimu kini, yang sudah mengabdi di rumah Tuhan sebagai sintua, atau jelasnya, yang setiap saat perkataanmu sudah menyetir ayat-ayat dari berbagai kitab suci, mereka tentu menyadari uraianmu,dan itulah sesungguhnya yang patut diteladani.

Togar Dolly Naibaho, adakah kau menjalani hidup ini menjadi sesuai dengan alur pikiran dan rencanamu? Dengan tegas kau menjawab, tidak! "Tuhan sudah menggariskan jalan hidup manusia untuk sukses dan merana. Untuk kaya dan miskin. Dan seterusnya...."Tapi dirimu juga menegaskan, kendati Tuhan sudah menggariskan semuanya, manusia tetap punya pilihan. Free will. Apa itu Togar Dolly?

Friday, July 07, 2006

Jasmin Naibaho : Senyum dan Keramahan adalah Penghargaan Tertinggi Kepada Sesama


Jasmin Naibaho : Senyum dan Keramahan adalah Penghargaan Tertinggi kepada sesama

Eksperesi yang terpantul dari wajah jauh lebih berharga daripada pakaian yang digunakan seseorang, katamu suatu ketika, saat kita mengambil isterahat di sela-sela waktu yang membosankan, karena begitu lamanya mengikuti acara adat.

Kau tambahkan lagi, ketika kita menyapa seseorang dengan lembut, dengan wajah yang ramah, maka pantulan hati nurani yang bersih dan tulus akan memancar, dan hal tersebut pastilah akan menenteramkan hati orang lain.Ah…Tapi itulah yang selalu kau hadirkan, disaat dan di manapun, dan nyaris, siapapun yang dekat denganmu akan merasa nyaman dan teduh.

Siapa yang menyangka, kunci suksesmu ternyata terletak pada keramahanmu?

Katamu, tidak ada modal yang paling besar dalam bernegosiasi dengan rekan bisnis di luar keramahan. Mengapa? Karena pada dasarnya, setiap orang ingin dirinya dihargai, dan senyuman terhadap siapa pun adalah penghargaan tertinggi dalam kehidupan… “Mengapa harus mencari modal, jika modal besar sudah ada di sebidang wajah kita?” begitu anjurmu, agar setiap orang melakukannya dalam menata kehidupan.

Thursday, July 06, 2006

Hidup Sederhana Dan Ogah Stress


Hidup Sederhana Dan Ogah Stress

Hidup adalah pikiran. Pikiran adalah hidup. Maka pikiran itu sebenarnya adalah mestery yang tidak pernah bisa diungkap atau terungkap. Dan karena itu seorang bijak berkata, “ Kamu adalah pikiranmu”. Maka tak jarang ada yang sudah punya mobil lebih dari satu, rumah puluhan dan uang berjibun, tapi masih merasa miskin dan selalu gelisah, dan tidur pun menjadi barang mewah.

Tidak begitu dengan pria kelahiran Pangururan yang memperisteri boru tulangnya, Sinur Naibaho, dan kini berputri 1, Tiurma Natalia dan dua putra, Johny Halomoan dan Bahtiar ini. Hidup baginya bukan materi. Tetapi adalah penghayatan dengan cara menyederhanakan standar kehidupan. Baginya naik Kereta Api Listrik (KRL) setiap hari dari tempat tinggalnya Depok ke Pasar Senen, tempatnya mencari nafkat dilakoninya dengan penuh kesenangan. Tidak pernah mengeluh. “Mengeluh untuk apa?” ujarnya. “Bukankah Tuhan sudah menggariskan kehidupan setiap orang?” tambahnya ke PANUTURI.

Pedagang anggir, dan rempah-rempah, hela dari Pintar Naibaho gelar Ompung Romasty Naibaho ini, mengakui, bahwa setiap orang pastilah menginginkan materi yang banyak. “Tapi jangan karena itu kita menjadi stress dan hidup tidak lurus. Enjoy you life,” ujarnya menyetir kalimat putra sulungnya yang kini kuliah di Universitas Indonesia, J.Halomoan Sitanggang.

Kini di tengah kesibukannya membina anak bungsunya Bachtiar Sitanggang untuk meneruskan karirnya sebagai pedagang, dia aktif menjadi penyanyi lepas di Opera Dadakan, bersama paribannya Tamsor Sianipar, Amen Naibaho. Dan tampaknya lagu Supir Motor menjadi lagu andalannya. Maklum sebelum pedagang dulu dia adalah driver metro mini, Kampung Melayu – Ciracas. Tarik…rrrrrr.

Tuesday, July 04, 2006

Anakkon hi do Hamoraon di Au



Anakkon hi do Hamoraon di Au
(Hartaku yang paling mahal adalah anakku)

Barangkali atau tidak pemikiran “Anakkon hi do hamoraon di au” ini datang dari Junani kuno. Dan kalau mau sedikit menarik ke belakang, halak hita, konon tidak satu pun yang dilahirkan sebagai pekerja. Tapi pemikir. Maka di masyarakat Batak, tidak jarang seorang ayah, rela menjual seluruh harta kekayaannya hanya agar bisa membayar uang sekolah anaknya. Bukan hanya itu, bila perlu, berhutang dan “menggadaikan”nyawanya pun dilakukan, asalkan anaknya bisa mencapai gelar tertinggi di bidang pendidikan. Nah, lihatlah salah satu di antaranya yang dapat menggapainya, Prof. Dr. Ir. Punten Naibaho, yang berasal dari Tano Ponggol, Pangururan, Samosir.
Ahli pertanian lulusan Institut Pertanian Bogor ini, tidak pernah merasa lelah, apalagi bosan untuk meningkatkan pengetahuannya di bidang pertanian.