Senyum bertabur Bohong
Oleh : Laris Naibaho
Jantungku berdetak keras, ketika handphoneku bunyi. Kendatibunyinya sudah kuset dengan Kuch Kuch Hota He, tapi tetap saja tak mampu meredam kegalauan pikiran, atau mungkin Lebih tepatnya tak mampu mengusik ketakutanku. Ketakutanku mungkin bagi orang lain
bukanlah suatu masalah. Bahkan mungkin soaL sepele. Tapi setiap kali terjadi seperti itu, aku gelisah dan jantungku ndak tenang, alias kebatkebit.
Apa pasal? Saat itu, jam menunjukkan pukul 14.25. Saya masih ada di kantor melayani seorang tamu, yang meski sudah berbagai macam isyarat saya buat Ia tak juga beranjak pergi. Padahal rapat yang seharusnya kuhadiri di sebuah Hotel di bilangan Slipi, dimulai pukul 14.00.
Bunyi hp panggil pertama, sengaja tak kuangkat. Kupikir tamunya mengerti untuk menyilakanku menerima tetepon tersebut. Ternyata dia diam saja. Akhirnya dering panggiLan kedua kuterima, dan langsung kujawab, "Halo, sorry rapatnya dimulai saja.
Macet total, nih. Aku sudah diperempatan. Mobil hampir tak bergerak. Aku pasti datang." Dadaku sesak. Sesak sekali. Kusebutkan aku sudah dekat, padahal aku masih di kantor. Tapi mau apa lagi? Kulihat tamuku mengernyitkan dahi. "Ada rapat?" Aku mengangguk. Aku bergegas ke Luar dan menyetop taxi di jalan, tanpa melihat merknya lagi. Pikiranku fokus ke arena rapat. Saya tidak ingin mengecewakan temanteman. Jam menunjuk 14.31. Jadi sudah 31 menit saya terlambat.
Taxi melaju. Hp berbunyi lagi, yang Langsung kejawab, "Sungguh mati, macet total nih, dan taxi ndak bisa bergerak. Tapi aku pasti datang. Nih, biar percaya, supir taxi mau ngomong..." Kusodorkan hp ku ke sopir taxi, sambil mengedipkan mata. Dan tampaknya dia mengerti. Sang sopir taxi pun berkata, "Ya, Pak. Macet total di sini, sudah hampir lebih setengah jam macetnya." Sopir taxinya tersenyum sambil mengembalikan hpku.
"Udah biasa kok Om. Saya sering ngebantuin penumpang untuk hal seperti itu. Pikir pikir ndak ada ruginya. Emangsih, sedikit bohong, tapi sekedar menyenangkan penumpang aja, ndak apa-apa khan, Om?" Aku diam. Sungguh-sungguh diam.
***
Dengan sedikit membungkukkan badan, aku memasuki ruang rapat sambil senyum malu-malu. Aku berharap para peserta tidak terlalu memperhatikan kehadiranku yang sangat terlambat. Dan memang sudah sangat terlambat, karena ternyata, begitu aku menjejakkan kaki di ruang rapat, jam menunjuk pukul 15.30 yang berarti rapat telah berjalan satu setengah jam, dan dalam waktu beberapa detik kemudian, pimpinan rapat mengetuk palu, pertanda rapat usai.
***
Teman mengerubung. Dan kekecewaan tampak dari rawut wajah mereka. Bisa dimaklumi, karena konon, suasana rapat menjadi monoton, kurang gairah dan nyaris monolog. Demokrasi menjadi tumpul, karena feodalisme dan arogansi pengambilan keputusan mencuat muncul kembali. Maklum, kendati peserta rapat umumnya mengaku sangat anti feodalisme, tetapi realitasnya adalah sebaliknya. Tetap saja pimpinan rapat, dan kelompok tertentu yang menguasai jalannya rapat dari awal hingga pada pengambilan keputusan.
"Mengapa terlambat,Bung?" Tanya seorang teman yang selama ini selalu menjadi pendukungku.
"Aku sudah berangkat pukul 13.30. Dengan harapan bisa sampai di sini semenit sebelum rapat dimulai" jawabku lancar, kendati nafasku tak lagi beraturan. Jawaban ini, sudah kurancang di dalam taxi, karena saya yakin, akan ada pertanyaan seperti itu. Saya menyadari, harus merancancang satu jawaban yang berisi kebohongan untuk menutupi kebohongan yang lain. Ini memang hukum dasar dari sebuah kebohongan.
"Kok, teLatnya sampai kebabalasan?" sambung teman yang lain, dengan nada menyindir.
"ItuLah yang terjadi. Di prapatan lampu merah itu, ada truk mogok. Polisi tidak ada. Dan dari arah Timur, ada metro-mini yang menyalip dan menambrak angkot. Sudah begitu lampu lalulintas mati," paparku.
Tampaknya apa yang kusampaikan dapat dimaklumi oleh teman teman, karena semua kusampaikan dengan lancar. Tentu saja, karena rancang bangun kebohongan itu telah saya siapkan di dalam taxi yang membawaku.
Selama perjalanan pulang di mobil teman yang kutumpangi, aku merenung sambil termenung. Aku mencoba masuk ke lubuk hati yang paling datam, "Haruskah aku berbohong dan berbohong hanya untuk persoalan seperti itu?"
Lalu, mengapa pula aku harus melibatkan orang lain yaitu si supir taxi untuk berbohong hanya agar aku tetap diakui keberadaannya sebagai oranq yang benar oleh teman-temanku? Ah. Tapi, mau apa lagi? TerLanjur sudah... Lebih baik aku bersiul..
(Kau yang terindah, di dalam hidup ini... kusembah Kau Tuhan lebih dari segalanya, besar kuasa-Mu...)
No comments:
Post a Comment